Puisi: Tempat Pulang

Tempat Pulang

Aku pulangkan diriku
tubuh yang aku pinjamkan pada perempuan lain
ke pangkuanmu
sebab 
kau tempat kembali
bagi semua kepergian

Kuansing, 2019



Jadi Balon

Aku ingin jadi balon
pada kanak-kanakmu
yang kau nyanyikan
dengan gembira
ketika di luar hujan
menerkam apa saja

Kuansing, 2019



Jadi Kapal

Kita jadi kapal
berlayar dari bandar ke bandar
yang berkali-kali gagal
menemukan debar

Kuansing, 2019



Pohon Itu

Pohon itu tumbuh tinggi
tapi tak menjangkau engkau
bertahun-tahun sudah
ia menunggu 
tebasmu

Kuansing, 2019

Read More »

Puisi: Untuk Perempuan Kecil

Untuk Perempuan Kecil
;Anakku


1/
Semalam
sebenarnya bulan tidak lebih terang atau lebih muram ketimbang kemarin
bulatnya pucat serupa wajah orang sakit
hanya ombak-ombak kecil di telaga
membuatnya terlihat sedikit lebih cantik
dan angin tipis yang tajam
aku berdua saja dengan sepi
mengeping-ngeping dingin

Mengapa rasa sedih itu ada?

Hidup hanya garis lurus dari dua titik
kita yang terombang ambing di sana

Betapa aku selalu merindukanmu


2/
Karena kamu perempuan
akan aku belikan boneka merah jambu berbulu tebal
dengan pita ungu
piano atau biola boleh juga
mungkin kamu akan menyukainya
suatu hari nanti
ketika aku di luar jangkauanmu
kamu akan teringat-ingat
mungkin berdialog dengan benda-benda itu
seolah padaku

Sebenarnya manusia tidak pernah tahu
kapan mesti pergi
kelak kamu akan mengerti
ketika jatuh cinta



3/
Kamu 
tercipta dari sebongkah niat 
darahmu sungai pengharapan
dagingmu
tulangmu 
gumpalan cinta
dan tiap tiupan nafasmu adalah rinduku

Senantiasa kubayangkan gerak-gerik jari-jari kecilmu
aroma rambutmu yang tipis
dan bening bola matamu terus-terusan menghisapku
seolah dunia hanya punya sisi baik, seolah


4/
Ketika malam
sebenarnya
di sini
aku hanya memalingkan mata dari dunia
di sana
bermimpi tentang aku kah kamu?


5/
Kamu adalah
awal dari semua hari
akhir dari segala tujuan


Batulicin, 2019
Read More »

Puisi: Menuju Manuhing, dll

Menuju Manuhing

Antara retak aspal dan batu-batu pecah
angin malam terasa jahat
di balik jendela taksi yang macet
aku sembunyi
dibayangi tangis gadis kecil di rumah dan
istri yang tabah

Pun kusiasati rencana kepulangan
yang entah

Oi
ini perjalanan kian jauh
membelah kesunyian dan debu
aku diguncang rindu

Palangkaraya - Tumbang Talaken, 2018




Kita Yang Mengharapkan Hujan

Kau menjadi sepat
liar dan lapar
di parit-parit
perkebunan sawit

Aku menjadi debu
di jari angin
mengepal dingin
dan demam

:hujan itu, sekedar lalu

Tumbang Talaken, 2018



Pagi Di Manuhing 

Bulan masih dingin di langit Manuhing, dik
ketika angin malas berpergian
dan para pemimpi yang kehabisan anggur
mulai tertidur
aku baru saja menemukan diri
sebelum tangan-tangan nasib kembali menenggelamkannya

Suara air di Tumbang Talaken, dik
mengeping hening
barisan buruh kebun dan pabrik
yang dibangunkan lonceng gereja
pada mereka; aku melihat rumah
penggalan-penggalan cerita
degup tubuhmu
rasanya baru kemarin

Tumbang Talaken; 2018



Ia Menjengkal Tanahnya

Ia menjengkal tanahnya
rimbanya
kanak-kanaknya
:yang kini entah siapa punya

Tumbang Talaken; 2018
Read More »

Puisi: Aku Sepi Itu, dll

Berkali-kali

Berkali-kali aku ingin jadi lumut
yang tumbuh di bekas pijakan kakimu
tempat kau berlama-lama
menanggung rindu dan cinta

Lalu menyaksikan apa yang kau saksikan
langit dan hujan
muram malam atau senyap yang tajam
mungkin

Berkali-kali aku ingin merasakan
penderitaan yang kau rasakan
kemudian menguburnya dalam-dalam
untuk diriku sendiri

Kuansing, 2016



Melepas Biduk

Biduk itu pun hilir
menempuh ceritanya sendiri
pada senja kusam
setelah berkali-kali ditikam masa silam.

Ia pernah membawaku
menyeberangi sungaimu
yang resah dan tergugu
selepas badai ketika itu

Kuansing; 2016



Aku Sepi Itu

Aku sepi itu
berjalan sendiri
memanggil-manggilmu
berharap langit dan nasib baik
pertemukan kita
dan rindu yang mendegup dadaku
segera tumpah ke dadamu

Padang, 2016



Selepas Hujan

Hujan itu menjadi aku
menitik di pohonmu
daun-daunmu
bunga-bungamu

Menitik dalam hening
begitu bening

Dan ketika seluruhku telah tumpah
tiada
kau pun bertanya-tanya
berapa waktu yang kau sisakan
untuk mengenangku

Kuansing; 2016



Pergi Lelakiku

Pergi lelakiku
meski jalan-jalan itu
simpang-simpang itu
dan batas-batas itu
hanya akan mengarahkanmu pada kembali

Pergi lelakiku
bukan semata-mata agar
kau kenal arah angin
kau hafal rasa dingin
kau penuhi seluruh ingin

Pergi lelakiku
sebab tepian dan jamban ini
tak akan memberikanmu apa-apa lagi

Kau yang datang pada riuh ini
serupa perahu kosong tanpa kemudi
mesti mengenal badai
melebihi kau kenal diri sendiri

Berpeganglah pada harapan
sebab bila tidak
ketika itu kau telah mati

Maka berjalanlah
dayung dayamu sendiri
seberangi kemungkinan demi kemungkinan
carilah kesepakatan
sebab kesepakatan adalah kebenaran

Kuansing; 2015



Jalan Sunyi Pencari Kayu

Belukar di jalan itu
makin tinggi dan berduri
kau beri aku parang
tapi tak tahu cara berperang
kutebas jua diriku sendiri

Aku berdarah tapi tak merah
barangkali luka hilang gairah
dan sunyi rimba itu
mengenalkanku pada rindu
juga pada ngilu

Angin yang menggugurkan usia daun
puisi-puisi hilang renung
jalan-jalan itu
derak patah ranting waktu
sunyi pencari kayu

Hutan-hutan bernyanyilah
nyanyikan kegelisahanmu
setubuhi kegelisahanku
biar kau hidup
aku hirup

Kita melangkah di jalan yang sama
merasai debar yang sama
hidup yang sama
nasib yang sama
tapi sunyi itu sungguh beda

Padang; 2105



Hujan Yang Sama

Ini hujan yang sama
dengan aroma yang sama
larilah ke luar rumah
biarkan ia pukul bahu kita
seperti ia memukul
kelopak bunga-bunga sejarah
dan ingatan di kepala

Rentangkan tangamu lebar-lebar
agar ia lebih kenal debar dada kita
yang di dalamnya
senantiasa menampung airmata
dan doa-doa

Ini hujan yang sama
dengan gigil yang sama
bukalah bajumu dan celana
menarilah
bersyukurlah
selepas ini kita daki pelangi
kau boleh pilih warnamu sendiri
bukankah hujan memang selalu begini?
lalu mengapa kau sedih?

;2014



Malam Bujang
:Nie Dori

Oi kawan,
ini tuak kudatangkan dari jauh
lebih jauh ketimbang masa muda yang tak habis-habis
bikin kangen dan tangis
ciciplah sedikit
biar kedukaan itu ke dadaku

Jika dadaku tak cukup kuat bagi dukamu
maka teriakan pada hening Kuantan
atau tebing dingin ini malam

Lagi malam panjang
mata kailmu dan ikan-ikan
nasib baik siapa tahu
kita panen belido seukuran perahu
biar kukabarkan pada Munthe dan Kuntet
atau gadis yang kau kangeni itu
mereka yang selalu saja terlambat

Atau biar kukabarkan pada apa saja
yang tak sekali-kali bicara
dan paham tentang cinta
sebab padanya
kau bebas bercerita
sebab murung dan duka
tak membawamu ke mana-mana

Kuansing; 2016


*Puisi-puisi  di atas pernah dipublikasikan di Riau Pos
Read More »

Puisi: Wahai Laksamana, Mantra Tuah, dll

Wahai Laksamana

Ini rumah laut
tempat rindu pasang surut
kepulanganmu tahun-tahun berlari
tahun-tahun yang demam sendiri

Di luar sana angin berduyun
ke puncak bukit dan gunung
di dalam sini sebab
tak ada lagi layar yang dapat  ditangkap

Doa-doaku yang garam
luka-luka mengeram
kau menjelma sepanjang ingatan
berhamburan dari rahim masa silam

Oh kandungku hanyut
di ujung teluk sejarah tertungkup
debur ombak sudut mata
hatiku bibir pantai yang lara

Akulah ibu dari segala ibu
yang kau cucut tampuk susunya
yang berdarah-darah
memberimu bahasa

Ceritakan pada sultanmu
tentang rumah lautku
tentang tanah tumpah
yang ngungsi ke tembok-tembok Malaka

Sampaikan pada karib kerabat
pada rongga dada Hang Jebat
pada detak jantung dan waktu
pada hunus ujung kerismu

Aku lah Dang Merdu
wahai laksamana
wahai rindang rindu
wahai dukaku duka

Wahai nama-nama
wahai cucur darah
wahai lara lirih
akulah kasih paling kasih
yang paling laut
yang paling larut
paling pintu dan tunggu
musim ke musim mengendap rindu

Katakan pada tiap tetes darah
pada tiap jengkal tanah
pada dentum meriam orang eropa
pada kematian di ubun kepala

Sumpahkan pada orang darat
tentang gemuruh runtuh adat
tikam muslihat mahkota
ketiadaan yang tiada

Oh putraku paling putra
dagingku yang pusara
serupa tumbuk gelombang pada karang
cemasku riwayat tak terbilang

Kuansing, 2015



Mantra Tuah

Hallo angin terbirit
yang turun dari puncak bukit
malang mantra orang dalam
tumbang adat rebahlah engkau
apa kabar?

Tanah leluhur dan pohon-pohon
dahan dan daun-daun
yang memberi hirup
teteskan denyut hidup
pada garis darah engkau

Pipit-pipit
padi-padi gabah
ilalang mengicuh mata
bersiul-siul pada selaksa
menari-nari tarian jenaka

Kilau tuai engkau
berpangkal pada tanah
berpucuk pada langit
menyayat dalam doa
panen musim tuba

Oh segala yang tumbuh
segala yang ruh
segala yang tubuh
segala yang tipu
kelak serupa engkau pula runtuh

Hallo angin sonsang
hikayat nenek moyang
derak belantara tumbang
ditiupnya pada engkau
apa kabar?

Raung tumbung traktor orang kota
tumbung-tumbung serakah
musabab sanak merumah punah
segala satwa dan saudara
menunggu kematian tiba

Oh batang sungai
batang nasib yang sansai
pada nadi engkau
pada degup engkau
mengalir  mantra yang tuah

Tuah yang patah
tuah yang sembah
sembah yang jiwa
jiwa yang sembah
SembahYang Esa

Kuansing, 2015



Anjing dalam Diri

Yang pahit di darahku
yang busuk di dagingku
aku tak sendiri
siapa dapat maknai sepi?

Ia anjing dalam diri
terus  menyalak dan menangis
menggigit dan mencakar
merobek laparku
merobek dahagaku
setubuhi amarahku

Begitu dekat
demikian erat
tanpa sekat
dalam gelap
dalam diri

Ia beri aku sakit
beri aku pahit
beri aku pelukan
beri aku pelukan

Oh sudah bertahun
melipat kurun
yang dingin dan asing.

Kuusir ia tapi tak pergi
kubunuh tak mati-mati
ia anjing dalam diri
paling tahu rasa sedih
paling pandai bersembunyi

Kuansing, 2016



Duri dan Daging

Aku tulis tubuhmu
duri dan daging
darah bening
sembari kau eja namaku
berulang-ulang
suaramu masuki tenggorokanku

Kita membusuk
meringkuk
saling tangkap
saling dekap
saling sekap

Oh kau milikku
tubuhmu tubuhku
duri dan daging
menyatu

Oh diri
oh duri
oh daging
dendam-dendam
diam-diam menjadi duri
menjadi daging
darah bening
mengering

Aku tulis tubuhmu
gairah bertahun
dihisap kurun
lukamu lukaku
berpeluh-peluh
tumpah dalam lenguh
kita satu

Satu tubuh
dalam darah
dalam gairah
dalam marah
dalam cinta
tanpa dusta
tanpa kata

Karena kata tak mampu sampaikan luka
tapi cinta menyatukan apa saja

Kuansing, 2016



Kuriau

Kuriau
kudengar ia memanggil kau
dari sudut-sudut kampung
dari bukit-bukit berkabung
dari mata kanak-kanak
yang tak kenal bahasa kandung

Kuriau
kudengar ia mengigau
dari anak-anak sungai
dari petak-petak sawit
dari dalam perutku
yang lapar pembangunan

Kuriau
ia meraung-raung risau
ia ingin pulang
pada layar dan lancang
pada laut dan gelombang
pada anak-anaknya yang hilang

Kuriau
ia mati sendiri
terkubur dalam sepi

Tahukah kau?
mati dalam sepi adalah kematian paling keji

Sementara kau
di mall-mall
di kakilima
di sekolah-sekolah
di tempat ibadah
senantiasa menyulam keranda
seolah mengamini kematiannya
tanpa doa

ia tak ingin mati
tak ingin kau kenang
ia ingin kau timang
ia ingin cinta

ia tak ingin keranda
tak ingin batu nisan
ia ingin sejarah
ia ingin kau baca

Kuriau
di kalbumu
di kalbuku
di sepanjang jalan-jalan kota
menjelma tugu-tugu penuh dusta

Kuriau
sekedar kesenian dan omong kosong belaka
sekedar lagu-lagu pengiring dansa
ca ca ca
celaka
kita pestakan kematiannya

Kuriau
ia jelma negeri sebelah
di gemerlap malam kota
di warung kopi hingga toko celana

Kuriau
ia mati dalam sepi
terjajah di negerinya sendiri

Sementara kau?

Pekanbaru; 2014
Read More »

Cari

Arsip