Gamang
Burung-burung terbang gamang memilah tempat singgah. Padi dan ilalang sama semi rumpunnya. Aduhai, rabab dan saluang berdendang girang, bebunyiannya mengalun terbawa angin petang. Lantun di tubuh kita.
Dengarlah puan, ibarat pohon kita ini dahan tompangan ranting yang bergoyang searah angin. Gamangnya itu melebihi gamangnya burung. Sebab patahnya kita patahnya ranting. Lalu di mana burung akan bersarang.
Aduhai musim memang silih berganti, terkadang gersang terkadang memuruk hati. Barangkali saja kita memang tak mungkin memilih, tapi bisa kah kau sedikit saja meyakini, agar akar kita tertanam rambat lebih dalam lagi.
Aku sama senangnya denganmu menunggu malam. Menyaksikan bintang-bintang berpindah ke kota, menyambut burung-burung pulang ke sarang. Duh, atau kali ini kau mulai tak senang, kau mulai jenuh sekarang.
Rautmu tampak bermuram durja, aduhai kau katakanlah padaku. Apa masih tentang cemasmu pada musim yang entah? Katakanlah, karena aku memang tak pandai menyelam lebih dalam, apalagi kau yang memang selalu hebat menyimpan.
Aku ingat ketika kisah masih sebentuk biji, duhai girangnya bukan kepalang. Kita selalu rindu saluang dan rabab berdendang, lalu kita menangkap angin yang manja bermain. Lupa kah engkau ketika kita malah menangkap dingin, lupa kah engkau gigil yang kau bagi denganku. Aduhai aku ingin mengulangnya sebelum kita benar patah, sekali pun tak apa.
Gelap pekat mulai tampakkan rupa. Lelaplah engkau di dadaku terakhir kalinya. Biarkan burung-burung serta menikmati. Sebelum benar-benar lara, sebelum benar-benar duka. Setelah itu berjajilah kau padaku, seusai ini jangan kau menjelma ilalang tetapi padilah, Agar burung-burung tak selamanya gamang.
Padang; 19 maret 2010