Surat Rindu Padang-Gorontalo
Puisi berbalas: Reski Kuantan & Arther Panther Olii
I
Bang, aku berkabar pada angin yang mengigil selepas hitungan terakhir pada pertemuan. Di tubuhnya aku menitipkan pesan, masihkah kau setegar karang ? Sedangkan di ranah sini haru merambang sunyi, desau cakap-cakap menggempul mengasapi nasib yang hilir mudik. Di antaranya jejak-jejak mencar menorehkan cerita, retak garis tangan tak kunjung membaik. Padahal ketika aku menuliskan ini senja telah memerah untuk yang kesekian. Maaf bang, aku lupa menghitungnya sebab aku terlalu asik mempuisikan simpul-simpul yang terputus. Semoga kau dalam berkeadaan baik.Aku ingin pulang pada sejarah yang membentang berbait-bait, dengingkan pahit dalam keterbatasan yang sama-sama kita kecap. Lalu aku ingin berhenti menjaring angin, menangkap kabar yang entah dari sepanjang perjalanan. Bang, detak detik waktu menjerat jantungku. Sakitnya amat teramat. Apa lagi yang musti kuingat selain kesiap rindu yang menggamang di setiap nafas yang kuhela. Aku ingin berziarah pada rupa-rupa yang barangkali satu-satu mulai terlupa. Bang, tentu kau akan mengingatkan aku.Selepas senja aku menerka takdir yang mengintai. Rinduku tumpah tak selesai. Aku memungutnya dalam jemari rambang. Kadang bulan sepi, bintang-bintang beranjak ke kota "hidup bisa saja berubah di sana". Ada senarai pilu yang tetap sama, semoga tidak padamu. Bang, kabarkan padaku bahwa kita akan beranjak dari sajak-sajak sunyi, berhenti dari bait-bait sepi yang mengendalikan kita. Seperti petuahmu yang dulu, yang selalu menguatkan aku.Salamku untukmu, Bang .Padang, 13/04/2010
IIDik, kuterima pesan rindumu lewat angin yang berbeda. Di sini desir angin selalu bawa ingin. Meski terhalang rinai gerimis tak ada pesimis berwajah di sahaja waktuku. Tak kupungkiri sepi begitu rapih memelintir jalinan asaku yang tak pernah biasa. Tapi kau tahu lah dik, begitu tebal kamus ambisi yang harus kuterjemahkan demi cahaya pasti yang abadi menanti. Sementara kepungan bayang kecemasan tak mau melayang. Terus saja merapat mengemas kekhilafan yang bisa jadi terlafalkan dalam hampa mimpi yang asing. Niscaya, untaian doa ada terus kulingkarkan di teduh sujudku yang kuupayakan terus berwujud serupa sajak-sajak sunyi yang tak letih mengajak jiwaku bernyanyi.Ketahuilah dik, sepertimu yang selalu berlari kepada senja, akupun tak ada niat berpaling darinya. Nasibku yang naas hari ini, bernas esok hari dan bertunas hari-hari selanjutnya selalu kukisahkan pada senja. Semburat jingganya mengkristalkan tetes keringat terakhir yang mengalir begitu mahir di setiap lapisan pori-pori. Lalu, pada malam yang ditumpangi kelam aku selami kepekatan cita dan cinta yang terus berusaha menata maknanya pada puncak suatu piramida restu. Tentunya dik, aku selalu menjual senyum ketulusan pada rembulan dan bintang biar mendapat tumpangan kereta cahaya menuju peraduan jiwa yang madu. Kemudian, dalam buai kenikmatan lanskap fajar aku pun belajar menorehkan jejak yang wajar. Janganlah sampai acak biar mudah kau lacak.O, dik… inginku selalu serupa inginmu. Penuh kesadaran aku pahami gelayut sepi yang terus hanyut di larik dan bait sajak kita. Kuajak kau mengamini hal ini dalam keikhlasan yang bukan hanya sekedar kilasan kalimat tanpa maklumat. Mari kita bicara pada sepi tentang tepian riuh yang menanti kita di jalur masa depan. Kita yakinkan dia tentang pelangi yang tak lagi menghitung untung rugi hadir di malam hari. Kita buat dia membentang sayap lalu terbang pergi diam mengambang di ambang langit. Sesudahnya, kau harus janji lagi padaku dik. Andai kau kembali merindu sepi tak ada lah malu kau undang dia tuk temani jemput jiwamu yang mendadak semaput terseruput kegagalan menjegal riuh yang menghantam penuh.Salamku untukmu. Dik.Gorontalo, 14042010.