Puisi: Taplau Tujuh Tiga Puluh, Rindu Di Tak Berjarak, dll

Taplau Tujuh Tiga Puluh

Melempar bola mata
dan sepasang dukacita tergelak tiba-tiba
ini bukan gelombang yang sama
tanpa koran pagi atau halaman puisi

Pukul tujuh tiga puluh
tentang pantai, buih, pasir, dan aroma rambut
yang diam-diam menata simak
di bebatuan dan segumpal penantian

Siapa saja pernah salah kira
ini laut jantan atau betina
tapi rindu tak paham angka merah
juga dermaga yang memisah badan
di ujung muara

Tuhan 
aku ingin jadi angin
aku ingin jadi awan atau hujan
aku ingin jadi hari libur sepanjang musim

Padang; 03/10/2010



Rindu Di Tak Berjarak

Kau dan aku
sepasang sayap
tubuh adalah jarak

Tapi
rinduku di kita
serupa layang-layang
di angin kencang
ditarik putus benang
diulur kian renggang

Kapan bersua genggam?

Padang; 30/09/2010



Setangkai Hujan 2

Oleh: Reski Handani & Afrilia Utami

Sedari tadi hujan terus menuai dingin yang semai. Kemanakah petualang kali ini hendak berpetualang? Ke sayu lembut matamu atau ke debar degup jantungmu, mungkin.

Hujan kali ini umpama pandang mata di derai langkah, mengiring gigil jatuh menumpuk serupa tugu. Di mana aku menitip tunggu sepanjang jalan. Menuai cemas di sekujur badan.

Dingin benar gigil deburan angin. Nafasku mengeja titikmu kah? Ataukah deras gemuruh yang mengasbak di dua lapis bisumu? Langkah ini membayangi basah. Menelanjangi lompatan bocah-bocah yang redup di jiarah sejarah, menyimpulkan senyum dan murungku di bibir merah jambumu.

Kemudian jelma tempias diam-diam menerobos jendela, potret wajahmu kuncup di mataku. Entah harus bagaimana aku berlari, di tiap lompatan kaki kau umpama jejak yang pulang dan pergi.

Lalu kuikuti perlahan namun pasti. Jejakmu semakin jelas mengarahkan kiblatku. Kutemukan aspal membentang jauh dari timur menuju selatan. Ingin kugapai lembut ragamu yang pias serupa mayat, dan perlahan kubisikan hangat, mengangkatmu dari sejauh ku dan terpisah kau, menjadi dekat, erat dan semakin nafasmu lekat menguat.

Maka dekapmu rumah bagiku, dadamu halaman bunga yang kupetik sejak pagi hingga senja. Di situ sandar adalah gelak tawa di mana duka nestapa cuma dongeng lama, sejenak kemudian kucuri tubuhmu, matamu, dengarmu, retak garis bibirmu, akan kutata simpan di kalbuku.

September 2010




Petakumpet


Bahkan kau mencari sampai ke kalbu
padahal aku cuma diam di matamu.

Padang; 09/2010




Betapa


Sempat pernah suatu ketika aku mengira bulir hujan yang meniti di kabel parabola lalu masuk lewat ventilasi itu adalah kamu. Di lain waktu aku sempat pernah pula hampir menjadi sangat gila, sebab mengira aku ini adalah tubuh angin yang lalu memaksa tiup ke tempat kau sedang berada.

Aku menjadi lebih acap sembunyi di bawah bantal ke timbang harus tertidur tanpa kamu di mimpiku, atau juga aku memilih menulis puisi di komputer dengan sesekali menyimak fotomu seperti sempat pernah dulu aku menulis cerita di tubuhmu. Tiap satu bait usai, selalu kupandangi kalender di belakang pintu sembari berharap telah gugur satu bilangan untuk hari esok. Terkadang pula kupandang berlama-lama dengan doa tiba-tiba pintu diketuk serak basah suaramu.

Betapa penantian itu serupa kemarau di musim hujan.
Betapa penantian itu sejelma putik bunga takut patah sebelum kembang.
Betapa setelah itu mencinta jadi suatu kesederhanaan.

Padang; 21/09/2010




Tubuh Pemikul Tongkang

Orang-orang di seberang
tubuh pemikul tongkang
berumah rindu di dermaga kalbu
dari tanah jauh kabar melempar sauh
tenggelam dilibas riak mata terhadap pandang

Di sini aku menyaksikan drama komedi
di panggung negeri para paduka tuan senang berjudi
lalu ada yang diam-diam jatuh berlompatan
laksana di tengah panas datang hujan
dari mataku orang-orang seberang menyeret diri

Tawanya, gelagat ombak di tubuh karang
tangisnya, sayup sampai angin tualang
orang-orang di tanah seberang
tubuh-tubuh pemikul tongkang

Padang;20/09/2010

Cari

Arsip