:Yeni Nurhasni
Terhadapmu akan kuceritakan tentang jendela yang sedang kita pandang-pandangi ini, di mana rentetan bisik dan gemirisik kepak kumbang di kaca, umpama nyanyian semasa kanak di tetek ibu, kemudian tangis diam-diam tercuri lenggok waktu seperti pesawat kertas dari sekotak surat tak terkirim atau sertifikat tak bertanda tangan yang tercuri jalan pulang.
Di jendela ini, nanti tak lagi ada siul atau lambai, tak pula angin memainkan debu di sela adu kayu, hujan yang senantiasa rambat kelak tempias pun tak mungkin lagi jatuh ke dalam, jendela ini bakalan pejam, seperti api menjadi padam.
Teluk Kuantan; 07/09/2010
Kemudian Tiba-tiba Kami Sampai
Di bangkar hulu
buih sedang mengemas bekal
hanyut masih panjang
dari sela batu
sampai gulung baju sepangkal lengan
Kata ibu rumah kami langit
cawan besar di muara jauh
di lubang pori membentuk bulir
pada mata menjadi gilir
Kamu takut suatu ketika, bisik ibu
ganjal perutku lagi tanggal
lalu petir tiba-tiba sudah hilir
kami sampai di tangan tuhan
perutku keluar menjengkal tarian
Padang; 03/09/2010
Ke Rumahmu Aku Hendak Pulang
Aku hendak pulang ke tubuhmu, menjengkal belai. Meski tak begitu kuhafal lagi musim-musim di matamu. Tapi aku ingat sempat pernah dulu sembari menyimak kumbang bak lenggok anak gadis memotret gerimis melubangi palang pitu, kita tulis puisi tentang urat leher dan jabat di saku baju.
"Pantas saja lubang-lubang di kayu rumah ini kian berjumlah, kelak mungkin saja bakalan patah atau runtuh" katamu.
"Tapi itu bukan aku!" kataku.
"Kau yakin? kenapa tapi aku ragu?" tiba-tiba wajahmu batu.
Entah bagaimana kemudian aku telah di luar mencari pintu. Aku tahu kau sedang di dalam menumbuhkan ulang paru-paru.
Padang;02/09/2010
Tentang Yang Terbit Tenggelam Di Kalbu
Bukan tentang pujangga terhadap kekasih, bukan pula tentang rumah yang sejarak kaki. Rumah tempat biasa aku menenun puisi sembari membisiki angin "wahai, sampaikanlah segala kangen yang sedang aku tak sanggup tahan ini pada nun di seberang" atau ketika kulihat burung-burung di atap yang menjadikan aku kepingin pula memiliki sayap.
Bukan juga tentang ketika aku menanyaimu betapa para serdadu di medan perang itu hendak manatap mata kekasih, istri, anak dan bunda terkasih sebelum menempuh mati yang kau tak tahu seberapa ingin.
Bukan pula tentang apa-apa yang kau pernah lupa dan memaksa ingat untuk segera sampai di mana hal-hal yang kau sedang perlu itu tetinggal.
Tapi tentang makna terhadap puisi, Hidup terhadap Hati.
Padang; 31/08/2010
Pohon Jambu
Betapa kemudian hendak kuceritakan padamu tentang mengapa pohon jambu di halaman selalu sembari berlinang air mata, serta tergelak kecil aku pandangi setelah sesaat engkau ke jarak, dan betapa tanpa penyesalan kubiar lalu engkau benar-benar menjadi tiada, sebab jari jemariku tak cukup kuat menahan bahumu seketika mula menenun langkah, karena memang jari jemariku telah terbiasa menyentuh dengan sebegitu lembut bahumu yang acap kukecup.
O, terhadap pohon jambu yang dulu kau aku teduhkan, aku seolah menatap kesepian di reranting dan dedauanan yang tiba-tiba menguning berguguran. Terhadap pohon jambu itu aku menemu diri sedang menyimak jalar akar menahan tumbang.
Terhadap pohon jambu yang tak jelang di kulitnya kau dan aku menoreh nama sebelum sesaat kau hunuskan pisau bermata dua di belahan kiri dadaku, aku menjadi paham bahwa benar-benar tak ada yang mesti perlu di kenang selain menjadi pintu bagi jalan.
O, kenangan, betapa kenangan senantiasa membikin air mataku berlinang dan gelak selalu terdebarkan, betapa kenangan menjadi musthil untuk kutiadakan.
Padang; 31/08/2010
Tentang Bunga
Bunga-bunga yang tak berdaya
di paling kiri rongga dada
mengasah angin jadi tuba
Dari luar kudengar kabar
tentang pagar, tentang belukar
tentang bagaimana aroma menjelma hambar
Ke mana sayap?
kepak yang tiba-tiba senyap
entah bisa bagaimana terkisah lenyap
Sedang tiap putik, tiap kuncup
merindu malu-malu sentuh kecup
Umpama kelopak terhadap warna
sebegitu hendak aku memberi raba
Tuhan, di lembah mana aku kini musti bertuan?
Padang; 22/08/2010