Puisi Untuk Wasior, Mentawai dan Merapi

Membangun Rumah Baru
:Wasior

Maaf  sayang, kita mesti membangun rumah baru, jangan lagi dari kayu-kayu bukit belakang itu, kita bangun dari air dan lumpur sisa bandang kemarin waktu, kita bangun di dadamu, di sembab mataku, di tangis saudara-saudari kita yang kini adalah alamat bagi doa-doa.

Rumah kita, tangisan alam, luka-luka batang kayu, duka-duka bukit yang bercerita terhadap langit kelabu, tentang bagaimana aku dan kamu mesti sudah harus membangun rumah baru, jangan lagi dari kayu-kayu bukit belakang itu.

Kita sudah tak mungkin menghuni duka dengan duka, menutup luka dengan luka, rumah yang dulu kita tinggali kini penuh duka dan luka, jalan-jalan di depan rumah dilewati alam yang marah, halaman dan kolam belakang sesak lumpur dan air mata. 

Kita tak benar-benar tahu, barangkali aku atau kamu sedang diajari agar makin kian akrab tarhadap kehidupan alam dan kalbu.

Padang; 24/11/2010



Kampungku Dicuri Laut
:Mentawai

Mak, seusai kemarin malam air laut berkunjung datang, ke mana engkau mak? Ke mana abak? Ke mana dua ekor anjing dan kucing kita yang belang? Apa kalian sedang pergi berenang, atau melautkan sampan menangkap ikan?

Kepalaku sakit mak, tubuhku asin penuh memar ketika aku terbangun ini hari, bukan di rumah, tapi di tenda berwarna merah, semerah bunga-bunga di halaman rumah kita. 

Mak, kenapa aku tidak di rumah? Di mana rumah? Bunga-bunga yang tiap pagi dan petang kau siram? Halaman di mana abak mengecup keningmu tiap kapan sebelum melaut sejelang malam? Mak, di mana kalian?

Aku berjalan sepanjang kampung, kampung kita mak, apa kau sudah lihat? Sekolahku juga hilang, tapi lapangan tempat aku dan kawan-kawan bermain makin lapang, aku ingin segera mencari kawan, mengajaknya bermain bola atau sekedar kejar tangkap. Tapi kawan-kawanku juga hilang, semuanya menghilang, rumah-rumah, gereja, surau, warung tempat biasa kau berhutang juga. Mak, kampung kita menghilang. Atau apa kalian dicuri laut ketika ombaknya berkunjung kemarin malam?

Padang; 24/11/2010



Sebelum Kabut Adalah Rumah
:Merapi

Di puncak sana, aku sempat pernah bersentuhan dengan awan, manarikan tarian angin sebelum air mata, melagukan kicauan burung sebelum doa. Aku ingat, jalan-jalan dan kampung yang ramah sebelum kabut adalah rumah.

Di sepuluh kilo meter, sekian juta sel ingatku retak, di liang makam mataku berserak, menjadi surat terhadap pemilik segala Maha.

“Tuhan, kami sangat lemah dan tiada berdaya”

Padang; 24/11/2010

Cari

Arsip