:Prima Dina Dilova
Di akhir sebatang pantai, sebuah surat ombak, menyampaikan sakit pada karang. Gugus-gugus angin dan jejak pasir bias terhisap. Tumbuh di tubuhku, menjadi rusuk, degup di belah paru-paru. Serupa daun-daun usia jatuh satu-satu, menjadi makin banyak. Dan pulang terhadap suatu rahasia.
Pada sampai atau sebuah ketuk, dua mata laut yang lebam, putus-putus di gapai hujan. Penantianku adalah putik-putik badai atau gelombang yang beranjak garang. Tercuri riak, kemudian kecipak, senyap, lenyap menggapai pucuk ubun, serupa nyeri atau searoma kasturi, masih rahasia.
Padang; 28/11/2010
Begitulah Kita Manisku
Manisku, kita telah bersepakat adalah peladang, menggarap petak-petak tanah, bertanam, menjaga sampai kemudian bisa menuai atau panen gagal tiba-tiba.
Dahulu, kita ini entah apa, mungkin jejak atau derai langkah, atau juga pendatang yang tak tahu kapan pulang, kita terus berjalan, berjalan, berjalan dan sesekali singgah meneguk kesah, melempar doa-doa, atau sekedar melepas cerita tentang bagaimana kita ingin bisa segera tiba di tanah Mekah.
Manisku, aku ingin habiskan sisa kehidupan sembari menyentuh bahumu, bercakap-cakap tentang bangau-bangau di punggung kerbau, atau tentang rumpun bunga dan kupu-kupu.
Dari mula sampailah ke tiada, dari senyap sampailah ke lenyap. Begitulah kita manisku, perjalanan yang haru, kehidupan lucu.
Padang; 28/11/2010
Sayangku
Sayang
kita adalah sepasang pengamen cilik
kamu lantunkan lagu cinta dan gitar kupetik
sepanjang emperan kita menyeret nasib
Suaramu
cerita tentang bagaimana
aku dan kamu membunuh duka
melukai luka
denting gitarku doa-doa
Di negeri ini
aku adalah piatu
dadamu kolong-kolong kehidupan bagiku
dan kamu suara perutku
aku lapar yang liar terhadapmu.
Padang; 26/11/2010
Malam Itu, Di Kelok dan Simpang-simpang Jalan Kota Padang
:Maira E.S
Di akhir sebatang pantai, sebuah surat ombak, menyampaikan sakit pada karang. Gugus-gugus angin dan jejak pasir bias terhisap. Tumbuh di tubuhku, menjadi rusuk, degup di belah paru-paru. Serupa daun-daun usia jatuh satu-satu, menjadi makin banyak. Dan pulang terhadap suatu rahasia.
Pada sampai atau sebuah ketuk, dua mata laut yang lebam, putus-putus di gapai hujan. Penantianku adalah putik-putik badai atau gelombang yang beranjak garang. Tercuri riak, kemudian kecipak, senyap, lenyap menggapai pucuk ubun, serupa nyeri atau searoma kasturi, masih rahasia.
Padang; 28/11/2010
Begitulah Kita Manisku
Manisku, kita telah bersepakat adalah peladang, menggarap petak-petak tanah, bertanam, menjaga sampai kemudian bisa menuai atau panen gagal tiba-tiba.
Dahulu, kita ini entah apa, mungkin jejak atau derai langkah, atau juga pendatang yang tak tahu kapan pulang, kita terus berjalan, berjalan, berjalan dan sesekali singgah meneguk kesah, melempar doa-doa, atau sekedar melepas cerita tentang bagaimana kita ingin bisa segera tiba di tanah Mekah.
Manisku, aku ingin habiskan sisa kehidupan sembari menyentuh bahumu, bercakap-cakap tentang bangau-bangau di punggung kerbau, atau tentang rumpun bunga dan kupu-kupu.
Dari mula sampailah ke tiada, dari senyap sampailah ke lenyap. Begitulah kita manisku, perjalanan yang haru, kehidupan lucu.
Padang; 28/11/2010
Sayangku
Sayang
kita adalah sepasang pengamen cilik
kamu lantunkan lagu cinta dan gitar kupetik
sepanjang emperan kita menyeret nasib
Suaramu
cerita tentang bagaimana
aku dan kamu membunuh duka
melukai luka
denting gitarku doa-doa
Di negeri ini
aku adalah piatu
dadamu kolong-kolong kehidupan bagiku
dan kamu suara perutku
aku lapar yang liar terhadapmu.
Padang; 26/11/2010
Malam Itu, Di Kelok dan Simpang-simpang Jalan Kota Padang
:Maira E.S
Sekarang aku tahu, malam itu, yang benar-benar aku lampaui adalah matamu, yang terbentang sepanjang jalan berkelok dan simpang-simpang kota Padang. Matamu garis tipis sembilu.
Karam juga akhirnya aku, ingatan adalah memintal tautan-tautan benang tajam, antara jendela, lampu, gantungan baju atau jarum jam dan angka-angka kalender di belakang pintu. Di luar, dari balik kaca, angin dan suasana dingin menyerupa persis malam itu.
Tenggelam juga akhirnya aku, di kelok dan simpang-simpang jalan kota Padang, potret bangunan tua, jembatan Siti Nurbaya, berputar kemudian sebentar singgah, matamu jadi redup bulan, diam-diam sembunyi di awan, memaksa ingatan berjalan lebih panjang, menualangi kelok jalan dan simpang-simpang kota Padang, jejak-jejak itu malam.
Sekarang aku tahu, malam itu, matamu, jalan berliku yang aku tempuh sekedip dalam temu.
Padang; 26/11/2010
Entah
Dan reduplah bulan padu mengusap lebat mata puisiku. Aku mengirimkannya ke tanah nun jauh, di mana anak-anak jadi yatim piatu, di mana panas timah usil memburu. Segala banjir darah, puisiku berdarah, meraung teriris, hiruk pikiuk memangku tangis.
Angin bertiup enggan, harapan-harapan seperti bunga yang gagal ngembang. Puisiku busuk, segunung bangkai manusia terbentang dipaksa ceraikan nyawa, redup di kata, ngambang di makna. Puisiku segumpal resah, mengganjal dalam tiap doa.
Padang; 2009