Barangkali
Barangkali seperti jari-jari yang kita kubur di dalam genggam, yang kita pura-pura lupa siapa dulu memulai tanam. Barangkali aku, barangkali kau. Barangkali kita juga pura-pura lupa dengan apa serial ini mesti diberi nama, biaskah? Atau entah? Atau gairah belaka?
Semalam, tidurku tak masak satu jam, degup yang kau ladang di jantungku tiba-tiba meningkahi pandangan. Aku terjaga dengan cemas paling pertama. Serupa kabut di bibir bunga, gugur dari tempat bersela. Dan aku patah terbelah, retak yang membawa pecah, barangkali aku keliru terhadap membaca makna.
Ada yang mesti kita mulai sudah, menyulam ulang jari-jari atau memangku risau kabut di rekah bunga . Barangkali sama saja, tetap menenteng kebimbangan yang panjang, jalan-jalan berlubang, demam dan hujan, kemudian menyerah yang tikam, kau berpegang di hulu kayu dan aku di mata tajam.
Barangkali seperti jari-jari yang kita kubur di dalam genggam, yang kita pura-pura lupa siapa dulu memulai tanam. Barangkali aku, barangkali kau. Barangkali kita juga pura-pura lupa dengan apa serial ini mesti diberi nama, biaskah? Atau entah? Atau gairah belaka?
Semalam, tidurku tak masak satu jam, degup yang kau ladang di jantungku tiba-tiba meningkahi pandangan. Aku terjaga dengan cemas paling pertama. Serupa kabut di bibir bunga, gugur dari tempat bersela. Dan aku patah terbelah, retak yang membawa pecah, barangkali aku keliru terhadap membaca makna.
Ada yang mesti kita mulai sudah, menyulam ulang jari-jari atau memangku risau kabut di rekah bunga . Barangkali sama saja, tetap menenteng kebimbangan yang panjang, jalan-jalan berlubang, demam dan hujan, kemudian menyerah yang tikam, kau berpegang di hulu kayu dan aku di mata tajam.
Kemana lalu mesti aku masih harus membawamu melenggang, jika di kalbuku risau senantiasa bermacam-macam.
Padang; 02/12/2010
Padang; 02/12/2010
Tentang sepasang bola mata
dan ciuman bibir pertama
ada semacam tuba
tiba-tiba
cinta menjadi fitnah
Padang; 06/12/2010
Mula-mula
Mula-mula ia beri aku tangan
kusambut dan genggam
dengan tangan itu lalu ia menikam
pula mengunci gerak tubuh dan pikiran
Padang;06/12/2010
Sembunyikan Aku
:Uly Naranayana
Aku terbang labuh dari sebuah lakon sunyi dan denging bisik dinding keluh, kepak sayap kadang gigil dirambang angin, dan aku ingin sembunyi di api matamu, sembunyikan aku.
Nanti, kau simpanlah jejak-jejakku untuk kita padu di kemudian hari, lalu kau ceritakan nanti, bagaimana takutnya aku dengan kepura-puraan ini ketika mulai lupa terhadap membilang jemari.
Aku hendak sembunyi di api matamu, sampai kepak kekar mencekau waktu, sampai sajak lirih yang tumpah ruah ngungsi dari tubuhku. Sembunyikan aku.
Padang; 05/12/2010
Ada Yang Saling Membentuk Jahitan
:Maira E.S
Barangkali jari-jemariku yang tak mungkin lagi pernah bisa bakalan genap aku hitung sampai sepuluh, sebab selalu saja satu persatu mulai hilang kau simpan ke dalam genggaman. Dan membilang degup jantung adalah sesuatu kemustahilan, degup-degup yang saling berhimpitan.
Aku membayangkan kau dan aku persis sama dengan kancing-kancing baju dan lubang, satu, dua, tiga, empat, lima, kita tekan, kemudian tetap menemu pandang. Menjadi makin membikin ingatan kian rumit dan bersilang-silang, seperti sedang membentuk sebuah jahitan yang panjang, seperti jari-jemariku yang diam-diam kau sembunyikan di dalam genggam dan aku pura-pura kehilangan.
Ah, kau betul-betul jarum dan aku benang. Sulaman degup yang saling berebut tikam.
Padang; 05/12/2010
Anjing Kita Yang Lucu
Anjing yang kita besarkan, yang dulu manja kita pangku-pangku, bukankah sangat lucu? Sekarang ia sudah pandai berlari atau menyalak dengan kencang, kadang membawa sebelah sendal jepit tetangga pulang, kadang kaos kaki, kadang pula sepatu yang entah di mana ia dapatkan.
Kemarin hari, bersama seekor betina, ia mendaki bukit semak belakang, melarikan tulang-tulangku. Menggogong lantang atas rintih sakit daging-dagingku. Anjing kita yang lucu mencuri dari tubuhku, melukai jengkal-jengkal kasihsayangku.
Sekarang ia sudah tidak lagi suka susu, ia suka darah, ia sekarang suka darah.. Aku takut, kelak, ia juga mencuri dari tubuhmu. Ia sudah penuh ambisi membunuh, menggigit, selalu memburu rasa sakit, di jengkal-jengkal luka-luka tubuhku. Anjing kita yang lucu.
Padang; 29/11/2010
Diam-diam
:Ella Julianty
Pada kepulangan kita yang diam, malam itu, ada yang diam-diam tumbuh atau barangkali dengan sengaja kau memang tanam, di debar jantungku. Tumbuh melengkung dan berputar-putar, selengkung bulan cantik yang kau percakapkan dan seberputar-putar perjalanan yang kita mulai bingungkan.
Ya, bulan, sesunguhnya aku meragu, cantik mana bulan ketika itu atau matamu yang menghisapku, aku kira kita sedang sama-sama keliru, sebab menurutku tentu saja matamu. Ah, jika bisa maka bulan itu akan kusentuh, kemudian matamu, agar kau tahu, mana yang padam lebih dahulu, bulan atau matamu.
Pada kepulangan kita yang diam, diam-diam aku berharap agar kau tiba-tiba lupa terhadap alamat rumahmu atau agar kita saling tersesat saja di dalam kalbu, kau di kalbuku dan aku di kalbumu.
Padang; 13/12/2010
Perempuan Tua
Aku melihat seorang perempuan tua dengan bungkusan daun pisang membangun tenda di tanah gersang, barangkali sebentar lagi hujan, atau mata tiba-tiba padam. Ia belum usai membilang nasib, jengkal kian mengukur sulit, nafas menjadi makin rumit, bersela doa di lipatan kulit.
Ada yang tak pernah lepas, serupa pandangan yang diam-diam melampaui batas, ia perindu terhadap kepulangan yang jauh. Bibirnya senantiasa tak henti membikin semacam pelabuhan, persinggahan panjang, jalan-jalan dan gelombang yang saling berciuman.
Dua, tiga, lima, entah barangkali sejuta, ia mengandung ragam warna di matanya, di akhir kedip, ia selalu menenggelamkan dunia ke dalam dada.
Padang; 10/12/2010
Pada kepulangan kita yang diam, malam itu, ada yang diam-diam tumbuh atau barangkali dengan sengaja kau memang tanam, di debar jantungku. Tumbuh melengkung dan berputar-putar, selengkung bulan cantik yang kau percakapkan dan seberputar-putar perjalanan yang kita mulai bingungkan.
Ya, bulan, sesunguhnya aku meragu, cantik mana bulan ketika itu atau matamu yang menghisapku, aku kira kita sedang sama-sama keliru, sebab menurutku tentu saja matamu. Ah, jika bisa maka bulan itu akan kusentuh, kemudian matamu, agar kau tahu, mana yang padam lebih dahulu, bulan atau matamu.
Pada kepulangan kita yang diam, diam-diam aku berharap agar kau tiba-tiba lupa terhadap alamat rumahmu atau agar kita saling tersesat saja di dalam kalbu, kau di kalbuku dan aku di kalbumu.
Padang; 13/12/2010
Perempuan Tua
Aku melihat seorang perempuan tua dengan bungkusan daun pisang membangun tenda di tanah gersang, barangkali sebentar lagi hujan, atau mata tiba-tiba padam. Ia belum usai membilang nasib, jengkal kian mengukur sulit, nafas menjadi makin rumit, bersela doa di lipatan kulit.
Ada yang tak pernah lepas, serupa pandangan yang diam-diam melampaui batas, ia perindu terhadap kepulangan yang jauh. Bibirnya senantiasa tak henti membikin semacam pelabuhan, persinggahan panjang, jalan-jalan dan gelombang yang saling berciuman.
Dua, tiga, lima, entah barangkali sejuta, ia mengandung ragam warna di matanya, di akhir kedip, ia selalu menenggelamkan dunia ke dalam dada.
Padang; 10/12/2010