Puisi-Puisi Reski Kuantan

Ingatan

Di lengang
ada sesuatu yang tak pernah lepas
serupa ketuk detik
aku selalu ingat kau
tapi ngilu
seperti jemari tanggal kuku

Kadang aku ingat hujan
tapi masih tak lepas dari kau
tentang hujan yang mengabut
di bukit sitinjau yang kau halau
dari matamu yang kulalau

Terkadang aku juga ingat
untuk memutus ingatan
tapi
ingatan itu rumit berjalin
ingatan itu seperti raungan panjang
kadang seperti putaran jarum jam
berlarilari
kemudian menjadi liar
menggelutiku dengan kasar

Padang, 13/10/2010




Melipat Kertas

Melipat kertas 
ini kapal dan alamat di kartu pos
kubiar hanyut di tengah hujan

Kapalku kian jauh
menyeret nasib di selokan waktu
jika nanti karam atau tak sampai tujuan
akan kubungkus setangkai senyuman
kukirim di lain kesempatan

Melipat kertas
ini kapal dan alamat tanpa arah
mengapungapung di seluas dada
nanti jika tenggelam sebelum menemu tujuan
akan kupahat batu nisan 
dan kukirim seikat kembang

Padang, 13/10/2010
 


Aku Mau Tidur

Aku mau tidur
tapi
sedang apa kau 
di lampu
di pintu
di gantungan baju
di tiap ke mana pun pandangan mataku?

Malam hampir jatuh
di genteng hujan menjadi kabut
angin menenteng dingin
kenapa kau tetap tak paham
aku ingin selimut
menjadi hanyut

Sekali ini saja mau kah kau kita bersepakat
aku tidur dan kau lenyap
nanti di mimpi 
kau boleh datang lagi
akan kubacakan kau sebait puisi
puisi terpaling debar
terpaling getar
di mimpi tapi
sekarang jangan
aku ingin tidur

Padang, 13/10/2010




Hampir Malam

Hampir malam, di luar hujan, aroma gulai, racikan bumbu dari jemari tanganmu yang pandai. Kekasih, asap itu, merah kayu dan matamu yang berair, aku ingin menjadi salah satunya, yang mungkin kau tiup, memberi hangat atau kau usap. Aku ingin mencintaimu dengan lihai, selihai kau menguasai api di tungku.

Hampir malam, di luar hujan, di aku kau masih sejarak kata terhadap kalimat, yang kemudian puisi, secangkir kopi, lalu pandang mata yang dalam sebelum akhirnya bersetegang. Dan kau senantiasa tetap tergelak kadang tersenyum panjang. 

Kau memang pandai, menjadikan aku selalu tampak bodoh dalam mencintai. Ya, aku ingin mencintaimu dengan lihai.

Padang, 12/10/2010


Hampir Petang
 
Kita harus bergegas kian ke pantai katamu, padahal menurutku kita sudah harus pulang. Di pantai, aku tahu, kau hanya ingin menyaksikan usia dirindu benam. Padahal aku benci, bagiku mungkin esok perjalanan bisa makin panjang, berkelok dan bersimpang, seperti puisi-puisi yang kau tulis, kemudian di sepertiga malam kau bacakan, aku selalu jadi paham, "gagal" katamu setelahnya diam.

Padang, 12/10/2010




Aku Kangen
 
Di lampu dua ekor rama-rama terbang berputar ke masa bocahku. Aku jadi ingat desa, topi jerami ayah dan kerbau pembajak sawah. Aku ingat rumah, dapur dan asap di tunggku. O, sedap sampodeh buatan ibu.

Aku jadi makin kangen ibu dan ayah, petak-petak sawah, gerombolan burung pipit menjelang senja. Pada senja, di surau belakang rumah, biasanya aku telah di sana, tergelak dengan teman sebaya.

Padang, 10/10/2010



Ranting

Lama kupandang, oh dikau ranting, kelak ketika tiba waktu lapuk, siapa lagi hendak bertengger? Siapa lagi mau bergantung?

Oh dikau ranting, jika sudah tiba masa patah, ke mana kau akan melempar badan? Ke siapa kau pinta dipungutkan?

Oh dikau ranting, kelak entah kapan, aku bakalan menjelma kau.

Tuhan, apa aku boleh menjadi takut?
Tuhan, apa aku sanggup menemu gamang?
Tapi jangan biar aku membimbang.

Padang, 10/10/2010



Daun 

Sekali saja, aku ingin jadi daun di pohon depan jendela kamarmu. Aku ingin di malam dapat bercakap dengan angin tentang igaumu. 

Dan ketika diam-diam pagi datang, kubiarkan diriku menguning kering, putus meninggalkan ranting, jatuh di helai-helai rambut sebahumu, akan kukecup, kubelai dan lalu duduk berjuntai sampai jemarimu menggapai remuk buangkan aku. 

Sekali saja, aku ingin bisa ke kau meski hanya sekedar singgah, sekali saja.

Padang, 10/10/2010

Cari

Arsip