Puisi: Surat Cinta Buat Mirna, dll

Siapa Itu

Siapa itu
bulan tergantung di malam
mengedip seorang bak kunang-kunang
aku kira lebah madu
yang mengenali bibirku bunga candu

Akan kubacakan syair untukmu
tentang sampan dan gelombang pasang
atau tentang jaring ikan dan sepasang tangan
sebab
aku ini lautan

Padang; 12/11/2010




Kemudian

Tak ada yang lagi dapat kau baca
semua jadi tak mudah
tak lagi seperti ketuk jarum jam
atau menyambut serbuan hujan

Kita umpama sedang bersepeda
kau pendayung dan aku roda
di pendakian kemudian patah
pecah
berderai di mata

Tak ada yang lagi dapat kau kendali
kita sudah tak pandai pegang kemudi
tidak juga seperti mengaduk kopi
atau menulis puisi
apa lagi jalan jalin jemari

Padang; 12/11/2010





Seseorang Dan Hujan

Ia selalu menunggu hujan, di jendela dengan mata tanpa pejam, langit dan gumpalan awan sepasang tangan, melambai, menggapai sayup sampai.

Ia tak pernah bersuara, tidak juga meski sekedar berkata 'ah', apalagi menitikkan air mata, sebab suaranya, kata-katanya dan air matanya telah lama menjadi doa.

Ia selalu menunggu hujan, di jendela yang sama, pandang mata yang sama, doa yang sama, Tuhan yang sama. 

Hingga tiap kali hujan telah datang, ia akan biarkan sekujur badan disentuh hujan, bukan karena ia mencintai hujan, tapi karena ia mencintai ingatan.

Padang; 11/11/2010




Aku Ingat

Di batu-batu itu, aku ingat dulu kita pernah sama singgah, sama membilang gelombang, datang dan pulang. 

Katamu gamang, kataku sudah memang. 

Setelah itu kau dan aku sama mengasah diam, diam menjadi tajam, lalu menikam di pandangan matamu, di degup jantungku, di tiap udara masuk dan terbuang paru-paru. 

Kemudian yang tersisa hanya getaran, getaran sebentuk sampan, terombang ambing menunggu sampai di tambatkan.


Padang; 11/10/2010




Tuhan Aku Ingin Menjadi Sanggup

Tuhan, aku ingin jadi tenda jika memang tak mungkin jadi rumah, di mana saudara saudariku nanti dapat terhadapku membagi cerita, mungkin tentang bagaimana kebahagian tiba-tiba menjadi tiada atau tentang dusun-dusun mendadak menuju sirna.

Tuhan, atau aku jadi sebidang dada saja, yang sanggup menampung linangan air mata, yang kokoh di terpa segala keluh kesah.

Tuhan, aku ingin bisa jadi apa saja yang mungkin dapat membikin saudara saudariku melupa duka, melepas lara.

Tuhan, aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa menjadi tempat saudara saudariku melempar gundah.

Tuhan, aku ingin menjadi sanggup, sanggup tanpa berlinang air mata memberi sedikit tawa terhadap saudara saudariku kala merasa benar-benar nestapa.


Padang; 09/10/2010




Surat Cinta Buat Mirna

Dik Mirna, kau sudah tahu bukan? Aku ini tidak penyair, tidak pandai menyatakan cinta yang bahkan entah telah berapa purnama aku simpan. Aku cuma seorang yang selalu kalah terhadap ingatan, selalu takluk di putaran jarum jam, senantiasa menyerah jika dihadapkan dengan perasaan.

Sejujurnya, aku ingin bisa merangkai bait paling mudah, paling sederhana, paling terbuka, seterbuka telapak tangan oarang-orang di jalanan, seterbuka pakaian perempuan-perempuan penggadai nasib di hidung belang. Aku ingin, cuma agar kau paham.

Dik Mirna, tentu kau sudah tahu tentang tragedi Wasior, Mentawai atau Merapi, tentu kau sudah tahu jerit doa rintih pengungsi. Tapi tidak dadaku, dik. Kau tidak tau bagaimana porak poranda dadaku tiap bila teringat denganmu.

Aku mencintaimu tanpa rencana, aku mencintaimu seperti udara, seperti padi dan petak-petak sawah atau hujan pada tanah.

Aku Merinduimu, serupa rindu rusa dan serigala terhadap rimba atau burung di sangkar terhadap angkasa. Rinduku padamu adalah rindu budak pada merdeka, mendamba di tiap nafas terhempas, bergejolak dan meronta.

Barangkali kau menganggapku sedang ngaur atau malah gila, tapi kau perlu tahu, aku terhadapmu adalah alamat dan doa-doa.

Padang; 12/11/2010

Cari

Arsip