Puisi: Dengan Apa Ini Mesti Kuberi Nama

Dengan Apa Ini Mesti Kuberi Nama

Perkara ini malam adalah tik tak jarum jam, lampu yang tiba-tiba padam dan nyanyian kesepian serupa upacara pada kematian, bunting yang tak genap sekian jam sejak perjumpaan melahirkan anak-anak gamang, berlari-lari dan berloncatan di bayang-bayang, "sedang apa kau sayang?" pesan singkat di tolak jaringan kadang terlambat datang, barangkali handphonemu yang sedang di luar jangkauan.

Kusandarkan tubuhku pada kelam, kutimang-timang redup padam bulan, “tahukah kau kenapa bintang-bintang di gantung begitu menjulang dan matamu yang terang selalu jadi yang paling sanubariku rindukan?” diam-diam kusampaikan terhadap angin, berharap angin menyinggahkan dingin di badanmu yang beraroma segala rupa bunga di musim hujan kemudian mendengungkan perntanyaan-pertanyaanku ke dalam sel-sel kepalamu.

Mesti dengan apa kisah ini kuberi nama? Biaskah atau entah atau belaka? Atau episode gairah tertunda atau malah semacam siksa dan debar-debar bertingkah di dada? Atau kusebut saja ini penyebab gila? Atau apa saja yang bakalan kau mudah memahaminya, bahwa di aku, rindu menyerupa seribu senapan yang bergantian melepaskan peluru ke sekujur hidupku, dan kau adalah sejenis pingsan atau anak kematian yang cantik dalam lubang-lubang keterasingan rindu.

Kepalaku terbentur ingatan, ingatan-ingatan yang tajam, setajam samurai jepang, mencincang-cincang pikiran, memutus-mutus urat kesadaran, dan aku serasa sedang tenggelam di suatu lubuk terdalam di lautan, lautan yang penuh ikan, ikan-ikan yang garang, mengejar-ngejarku yang tiba-tiba lupa cara berenang.

Sayang, sedang di mana kau sekarang? Adakah kau merasakan kaki-kakiku gemetar meniti batang lapuk melintang di atas jurang, sedang jalan terputus ruang dan kau cuma sekedar datang serupa bayang, lalu derai berderai langkahmu menuju hilang, menitip kelengangngan yang berliku dan panjang ke dalam pangkuan, dan tak mampu aku nina bobokan.

Kularikan diri ke tengah keramain kota, kutolak segala macam lara, segala macam gundah, tapi aku seolah sedang dan usai meneguk bercawan-cawan tuba, kian kutolak makin menjelma malah, dan di kermaian itu, antara lampu-lampu serta kemilau mewah cahaya, aku tetap rindu purnama, wajahmu yang bak purnama, purnama yang merah, semerah darah di degup jantungku yang mendadak melemah di makan usia, tiba-tiba aku merasa sudah sangat tua, setua ini aku masih saja bodoh dan kaku terhadap mencinta.

Padang; 04/01/2011

Cari

Arsip