Puisi: Rindu Menuba, Mengenang, Kepompong Dan Madu

Menamai Minggu

Barangkali seperti daun-daun di pucuk bambu, angin tiba, angin tuba, angin pulang, hilang, jadi miang. Kemudian ada yang datang, diam-diam seperti minggu, ini tanggal merah, koran pagi dan halaman puisi, hari ini aku gadis-gadis kecil bermain lompat tali, satu, dua, tiga, kekasihku adalah kesepian yang cantik, masalalu yang berlompatan dan saling meminta himpit.

Teluk Kuantan; 23/01/2011




Mengenang 

Begitu gila aku terhadap remang urat lehermu, dan bulu-bulu tubuhmu tarian-tarian musim hujan, membelukar di lenguh-lenguh, mengaromah di peluh-peluh, pinggulmu serupa seribu tentara berkuda, bersiaga serupa badai dan dadaku yang selalu bergetar, berdarah-berdarah, kuku-kukumu adalah serigala, garang dalam ingatan, meraung-meraung, mengajak perang.

Teluk Kuantan; 23/01/2011



Rindu Menuba

Dan kemudian aku gagal memilih warna, mestinya rinduku bukan kuncup-kuncup bunga atau anak-anak hujan di pacuran.

Peluh jadi semcam jalan, tungkai yang berayun menelusuri teka-teki dan kau berderai ke mana-mana, hidup di tubuhku serupa tuba.

Belati, kunamai saja kau, tajam menghunus usia, manakar segala daya, membikin udara terseduh tak mudah dan barangkali kelak kematian bakalan termaknai sia-sia.

Teluk kuantan; 24/01/2011




24 Januari 2011

Ini waktu begitu cemas aku membisiki rindu ke dadamu, peluh jatuh satu-satu, umpama awas di belakang kelambu gadis berkulit kunyit bersiaga serupa pemburu dan matilah aku, aku ingin segera menyeduh atau gegas turun ke bawah, berlari seperti bocah-bocah menuruni anak tangga, satu, dua, tiga dan desah, jangan curigai aku di mana, kita sedang tak perlu kata, kata kini cuma milik pendusta, bibirku, lidahmu, perkelahian yang berbisa.

Teluk Kuantan; 24/01/2011




Kepompong Dan Madu

Semisal kuberitahu kau, jua tak sampai, sebab katamu di jendela lah mata mengail mula dan kita anak sungai, kirimlah wesel, alamat ungkai kancing baju atau bunyi pukul batu, hatimu.

Bincang kita tak lepas satu pintu, umpama pohon tumbuh cabang beribu, aku madu, kau kepompong menolak jadi kupu-kupu.

Teluk Kuantan; 24/01/2011




Sajak Petanam 

Rinai sudah rumpun padi basah, ini musim tanam panen menunggu giliran, aku lelaki pembunyi, bernyanyilah, meriaklah, dan dengarlah suara gemuruh sunyi yang aduh, dingin yang jatuh, ini cuaca pencinta perempuan petak sawah, mata cangkul telah diasah, kerbau pulang ke rumah, perapian tak nyala, sajakku derit ranjang yang patah, di pasar, harga jadi raja, penjahat hitung jasa, orang miskin kalian ke mana?

Teluk Kuantan; 23/01/2011

Cari

Arsip