Puisi: Membangun Rumah, dll

Membangun Rumah 

Malam ini aku membangun rumah, satu pintu dan jendela, agar aku dan kau memandang ke arah yang sama, melangkah di jalan yang sama. 

Aku tak bikin banyak ruang, cuma satu kamar dengan satu ranjang, tempat kita mengadu gairah. Ruang tengah, perapian dan kursi goyang, di mana kau terhadapku, atau aku terhadapmu akan saling bercerita, atau saling mengirimi doa.

Dan dapur di paling belakang, di mana jari-jemarimu lihai meracik sedap aroma tumis apa saja. Kemudian di meja makan, selalu kau dan aku menjadi sepasang bola mata yang senanantiasa sembari malu-malu saling mencuri pandang.

Padang; 02/01/2011





Satu Sajak Buat Kakakku Rany Dewijanti

Di suatu perjumpaan, di mana aku melempar tangan dan kau mendayung sampan, dalam genggam kita sama menuju senja terbenam. Ketika itu, aku ingin membacakan sajak untukmu, tentang bisikan angin pada sepasang sayap kupu-kupu atau tentang derit batang bambu, barangkali bukan sajak merdu, tapi lahir dari kalbu.
 
Di malam, aku akan mencuri matamu, kuselipkan antara bintang-bintang, mana yang bakalan lebih terang, atau kita akan saling berpura-pura pandai membaca retak garis tangan, sesekali diam, sesekali mencari pandang, kemudian tergelak panjang.

Padang; 1/1/2011




Di Suatu Musim

Di suatu musim, aku merasai, kau adalah ingatan yang tumbuh cantik, berjalan-jalan, berlari-lari kecil, tertawa sembari memetik kuntum-kuntum bunga, ini kebun yang warna, aku kupu-kupu yang hinggap di rambutmu, dan kau corak di sayapku.

Padang; 31/12/2010



Di Suatu Bisu
:Yuli Nurmalasari Napitu

Di suatu bisu, kuajak meja bangku, jendela, tiang kayu dan kepulan asap rokok bersajak merdu, tentang permpuan berdada samudra biru, tentang bibir segurih salju, tentang kekasih yang jauh.

Musim sedang bunga, segala burung segala kupu-kupu, adalah aku yang membangun tugu di dada yang kadang pecah kadang gemuruh, kadang pula tiba-tiba runtuh, rupa kekasih, badai di dunia kalbu.

Padang; 30/12/2010




Kujumpai Lagi Perempuan Tua Itu 

Kujumpai lagi subuh tadi, perempuan tua yang senantiasa menenggelamkan dunia ke dalam dada, pukul tiga lewat lima puluh dua, ia masih terjaga, tersenyum ramah, menyaingi nakal lampu-lampu kota.

Pesta telah lengang, orang-orang menuju pulang, ia melipat badan, membilang jejak-jejak ingatan, membaca gerak-gerik kelam, pura-pura menghitung bintang, mencari bulan yang sembunyi diam-diam, dan matanya menjadi persinggahan, segala nyanyian, segala pandang, menembus langit, memaniskan pahit, di sanubariku kemudian ia menggigit.

Aku ingin mengajaknya ke suatu ketika yang tak terduga, di mana cuma ada ladang bunga, gerimis di daun-daun muda, burung-burung berkicau indah, kupu-kupu berjuta corak warna dan tarian angin yang jelita, aku hendak mengajaknya ke musim yang tiada menyimpan lara.

Padang; 01/01/2011





Ia Di Kalbuku 

Ia tidak pernah kalah, ia senantiasa terbang, tidak tinggi tidak rendah, melaikan di debar-debar jantungku, di dunia kalbuku, di sanubariku dan hidup di jiwaku. Garudaku bukan burung angkuh, bukan lambang negeri pengeluh, Garudaku burung perkasa yang mengemas dunia ke dalam dada.

Di perjalanan, Garudaku adalah doa-doa pejuang, orang-orang yang tidak mengenal pantang, tidak mengerti curang. Garuda terus tumbuh, tidak rapuh, tidak mungkin runtuh karena Ia ruh bagi segala tubuh, tubuhku, tubuhmu, tubuh negeri kita yang jelita, negeri yang penuh cinta, negeri yang tidak menyerah terhadap kalah.

Padang; 29/12/2010 

Cari

Arsip