Di suatu perjumpaan,aku berbincang dengan sepasang bola mata, mula-mula ia isyaratkan tentang aroma lembah, bunga-bunga, suara angin dan burung-burung yang terbang beriring. Ayo bernyanyi, tralala tralili hei na na na na, ajaknya. Matahari sembunyi malu-malu, ini hari yang teduh, para pencinta sedang menghisap candu, aku lebah madu dan bibirmu bunga rindu.
Kemudian tentang waktu yang berdetik, sesekali ia tajam melirik, waktu yang tak pernah dianggap baik, tahun baru hampir tiba, dan kau hendak kemana?
Ia mendadak pecah, jatuh berderai ke dalam dada, ia sedang ingat langkah, semacam lara, alamat rumah, jalan-jalan panjang yang belum sudah serta retak garis tangan yang tak terbaca. Ia hanyut ke pandangan jauh, entah ke mana sedang menempuh, barangkali doa, barangkali juga asa.
Padang; 30/12/2010
Rindu Terhadap Ibu
Ibu adalah bab-bab hujan yang tak pernah habis, di tiap kedip ibu selalu menciptakan petir, getir dan aku adalah jalan-jalan panjang, petualang yang acap lupa pulang, di pintu dan jendela doa-doa senantiasa ibu terbangkan, serupa masa kanak-kanak, melipat kertas menjadi kapal layang, kemudian ibu akan tertawa “nak, kapalmu tak akan terbang jika cuma bersayap sebelah”. Jari-jemari mungilku dan dua pasang bola mata lalu membentuk kisah, ingatan yang tak pernah sudah.
Di kalbuku, di nafasku yang berkurang satu-satu atau di putih rambut ibu, ada rindu yang tak pernah menemu rapuh, seperti gelombang membilang butir-butir pasir, rinduku tak pernah terhitung tunai, rinduku senantiasa badai.
Padang; 20/12/2010
Sajak Kedua Yang Aku Tulis Sepanjang Perjalanan
Sajak kedua yang aku tulis sepanjang perjalanan adalah tentang aku yang menggilaimu dan kamu yang menggilai aku, tentang aku yang senantiasa jadi segala tak tunai membilang rindu atau tentang kamu yang tak pernah jenuh menciumi aku.
Di kotaku nanti tak ada kamu, tak ada gerak-gerak jemari menggelitiki punggung telapak tanganku, tak ada yang bakalan menggigit mesra pundakku, tak ada dada atau pangkal paha yang akan sanggup menyembunyikan aku selihai kamu.
Di kotaku nanti, segala jenis sajak bakalan jadi beku, kaku, atau barangkali jadi tak ada yang mempan menembak mati kamu di kepalaku, kamu hidup, bergerilya dan terus tumbuh di urat-urat rambutku, di sepasang bola mataku, di sajak-sajak gombalku, di tiap gerak bibir dan udara yang kuseduh.
Kemudian, jarak adalah semacam pisau tajam yang aku dan kamu sama genggam, kamu tancapkan di ubun-ubunku dan aku tikamkan di lehermu, begitulah kangen selalu menyerbu aku dan kamu.
Padang-Teluk Kuantan; 24/12/2010
Perjalanan
Di luar, batang-batang saling berkejaran, bulan diam, gerimis menggauni malam. Sepanjang perjalanan aku mencari, yang katanya kelak adalah persinggahan panjang atau kepulangan yang jauh, dan aku menjadi pendatang, membangun tugu dari sisa-sisa silam, segerombolan merpati kadang hinggap, mematuk dan berak di kepalaku, lalu melenggang terbang ke dalam kalbu.
Aku mesti terus berangkat, mendayung tungkai-tungkaiku, terperangkap, terjatuh, kadang tiba-tiba gamang atau takut menyerang dan mengharu. Tapi aku tahu, di sana, di sekian macam doa, ada yang senantiasa menunggu, yang sesungguhnya mukim bahkan lebih di dalam dari urat leherku, degup-degup nadiku, udara di paru-paru atau lebih lekat melebihi ruh di tubuh.
Padang-Teluk Kuantan; 24/12/2010
Padang; 30/12/2010
Rindu Terhadap Ibu
Ibu adalah bab-bab hujan yang tak pernah habis, di tiap kedip ibu selalu menciptakan petir, getir dan aku adalah jalan-jalan panjang, petualang yang acap lupa pulang, di pintu dan jendela doa-doa senantiasa ibu terbangkan, serupa masa kanak-kanak, melipat kertas menjadi kapal layang, kemudian ibu akan tertawa “nak, kapalmu tak akan terbang jika cuma bersayap sebelah”. Jari-jemari mungilku dan dua pasang bola mata lalu membentuk kisah, ingatan yang tak pernah sudah.
Di kalbuku, di nafasku yang berkurang satu-satu atau di putih rambut ibu, ada rindu yang tak pernah menemu rapuh, seperti gelombang membilang butir-butir pasir, rinduku tak pernah terhitung tunai, rinduku senantiasa badai.
Padang; 20/12/2010
Sajak Kedua Yang Aku Tulis Sepanjang Perjalanan
Sajak kedua yang aku tulis sepanjang perjalanan adalah tentang aku yang menggilaimu dan kamu yang menggilai aku, tentang aku yang senantiasa jadi segala tak tunai membilang rindu atau tentang kamu yang tak pernah jenuh menciumi aku.
Di kotaku nanti tak ada kamu, tak ada gerak-gerak jemari menggelitiki punggung telapak tanganku, tak ada yang bakalan menggigit mesra pundakku, tak ada dada atau pangkal paha yang akan sanggup menyembunyikan aku selihai kamu.
Di kotaku nanti, segala jenis sajak bakalan jadi beku, kaku, atau barangkali jadi tak ada yang mempan menembak mati kamu di kepalaku, kamu hidup, bergerilya dan terus tumbuh di urat-urat rambutku, di sepasang bola mataku, di sajak-sajak gombalku, di tiap gerak bibir dan udara yang kuseduh.
Kemudian, jarak adalah semacam pisau tajam yang aku dan kamu sama genggam, kamu tancapkan di ubun-ubunku dan aku tikamkan di lehermu, begitulah kangen selalu menyerbu aku dan kamu.
Padang-Teluk Kuantan; 24/12/2010
Perjalanan
Di luar, batang-batang saling berkejaran, bulan diam, gerimis menggauni malam. Sepanjang perjalanan aku mencari, yang katanya kelak adalah persinggahan panjang atau kepulangan yang jauh, dan aku menjadi pendatang, membangun tugu dari sisa-sisa silam, segerombolan merpati kadang hinggap, mematuk dan berak di kepalaku, lalu melenggang terbang ke dalam kalbu.
Aku mesti terus berangkat, mendayung tungkai-tungkaiku, terperangkap, terjatuh, kadang tiba-tiba gamang atau takut menyerang dan mengharu. Tapi aku tahu, di sana, di sekian macam doa, ada yang senantiasa menunggu, yang sesungguhnya mukim bahkan lebih di dalam dari urat leherku, degup-degup nadiku, udara di paru-paru atau lebih lekat melebihi ruh di tubuh.
Padang-Teluk Kuantan; 24/12/2010