Puisi: Aku Denganmu

Aku Denganmu 

Aku denganmu, selalu takut sendiri-sendiri, semisal pohon mangga di depan rumah, “Apa sekarang musim berbuah?” kau selalu pura-pura tidak tahu dan pura-pura mencari jawaban ke segenap bahasaku.

Tak ada yang lebih ajaib ketimbang kita yang senantiasa berjumpa, meski telah saling tumbuh di lain dahan dan terkadang retak di lain cabang.

Kau tak jarang menggantung-gantung sepi semacam angin di sela ranting dan aku cerita yang tak sudah-sudah kau bawa ke semua cuaca, seperti pula kau kusenbunyikan dari segala patah.

Di pucuk paling hingga, serupa doa dan airmata, kita sama memeram kecemasan, “Apa hari ini kita telah tanak?” selalu sembari kugenggam gemetar penempuhanmu dan kau seduh debar kehidupanku, kita sama mendekap usia yang jatuh satu-satu.

Padang; 14/02/2011




Aku Sampai Padamu 

Hari ini, kutelusuri segenap urat nadimu,
degup jantungmu, kubiarkan
ruhku mencari ruhmu,
dan kujumpai semata-mata angin,
mengecup dingin,
semisal sendiri mengecup sepi.

Padang; 13/02/2011




Bertahan Bertahun-tahun 

Barangkali tahun-tahun belakangan
kau tidak lagi pernah memperhatikan
ruang dadamu, di mana aku bertahun-tahun
tersudutkan di entah belahan mana
yang kau tidak lagi ingat aku senantiasa
berjaga dan siaga di situ.

Bertahun-tahun aku belajar membaca mimpimu
dan bertahun-tahun pula aku percaya kau
semata-mata tidak sengaja melupakan aku
dari igaumu.

Bertahun-tahun aku meyakini
meski entah di tahun kesekian berapa, kau
bakalan tiba-tiba berurarai airmata: Mengingatku.

Padang; 13/02/2011



Selamat Bermain Kehidupan

Pada akhirnya sampailah kau pada suatu kekeliruan yang berulang-ulang telah kita cemaskan dan selamat malam kehidupanku, lihat kabut di luar, di jalan-jalan lampu melupakan tiang, siapa paling benderang dan sim salabin bintang menjadi tuhan.

Kau, hiruplah aku lebih dalam serupa sentuh gigil di batang-batang musim hujan, malaikat tidak tidur, waktu girigi mesin penggilingan, kau madu air tebu dan selamat bermain kehidupanku, kita tanak mimpi di tungku, berterbanganlah doa-doa serupa asap ke dalam paru-paru.

Aku, menjadi yang paling jauh, pulang ke kau di tiap pengembaraanku, simpang-simpang serupa tiang gantungan dan selamat terhukum mati kehidupanku, tunggu aku di liang cemasmu, menangislah nanti di perjumpaan, kemudian meresaplah ke sekujur jiwaku menjadi padu.

Padang; 11/02/2011



Ibu dan Aku 

I
Hari ini seorang bocah kecil
terbit dan bermain-main
dalam diriku, ia tertawa
sembari mengejar kupu-kupu,
ah, masa lalu dan kemudian
ibu datang menyelinapkan
matahari ke dalam dadaku,
“ibu..”, gemetar kupanggil rindu,
menulislah kau jantungku bisik ibu
terbitilah matahari dari dalam dirimu
dan terbangunlah diriku
dari segala macam ketakutan.

II
Aku: Bu, apa aku sudah dewasa?
         Aku telah bisa merasai hasrat
         bercinta dan mengerti lekuk tubuh wanita.

Ibu: Belum,
        kau masih menggilai dan tak jarang
        tiba-tiba takut pada dunia.

Padang; 11/02/2011

 


Barangkali Nanti di Hari Terkahir
 
Barangkali, nanti di hari terkahir, hari semacam putus tangkai putik bunga tiba-tiba, kita akan saling merasai sesuatu yang belum pernah kita duga, semisalnya aku ingin menyelinapkan ruhku dalam tubuhmu atau kau hendak meniupkan udara ke paru-paruku, dan kita menjadi kekeliruan yang berulang-ulang terhadap penyesalan.

Padang; 10/02/2011

Cari

Arsip