Puisi: Belajar Mengenali, Tiuplah Lilin, dll

Belajar Mengenali 

Sembari kulantunkan lagu-lagu masa silam kukemasi segala macam kenang-kenangan, semisal kerlip matamu atau kuku-kuku di ujung jemari yang mencengkram pundakku, dan aku bayangkan kau penuh kecemasan, dengar seseorang di dalam diriku berdoa agar kita lekas dewasa.

Seperti kau terhadapku, aku pun senantiasa belajar menjangkau jantungmu, sama seperti kita belajar menghafal gerak gerik gerigi waktu, di bilangan mimpiku dan di penanggalan sekian macam rencanamu, kita masih banyak pekerjaan untuk dapat saling lebih mendekatkan hati.

Sekarang aku sampai di ujung keberangkatan, aku akan pulang lebih jauh ketimbang jarak yang bertahun-tahun kita tempuh atau sejarah yang mulai kita sebut ragu-ragu, untuk sekedar merasaimu atau kau memaknaiku, akan kubacakan kau sepi dan kelak seseorang di antara kita akan menangisi, tenyata bahkan kita masih belum saling mengenali diri sendiri.

Teluk Kuantan; 18/04/2011



Tiuplah Lilin 
:Rany Dewijanti

Bulan begitu dekat, malam selalu gelap, tiuplah lilin, saatnya mengulang tahun-tahun yang masih saja kita suka keliru terhadap menghafal musim dan seseorang di sana berdoa, agar senantiasa kau dapat peluk-peluk bahagia, kecup keningnya, semalam ia berjaga, menunggu waktu lepas dari detik dan bertemu tanggal merah, akhir pekan atau lusa kau akan ke mana?

Sekarang tidurlah, jari-jari kecil kita mungkin sudah tak genap merangkul usia, hei jangan lupa cuci muka kemudian akan kubacakan kau sajak tentang cinta, semisal dongeng buat bocah-bocah lucu kita, betapa kelak mereka bakalan dewasa, ah, kita takut tiba-tiba dan mama pacarku cantik rupa purnama katanya, lalu kau akan tertawa sembari selalu di telapak kakimu kau pelihara surga dan mimpimu moga senantiasa indah menjadi nyata. Amin.

Teluk Kuantan; 17/04/2011



Pekan Mendatang 
:Hindah Sumaiyah

Pekan mendatang, jika mungkin aku akan mengajakmu ke suatu malam, di mana kau akan berulang-ulang keliru membilang bintang dan aku mengikat tangkai-tangkai kembang sembari sesekali memancing bincang tentang betapa gila, telah bertahun-tahun kita hidup namun masih saja terpedaya rasa gamang dan bimbang-bimbang yang seolah selalu kita dengan sengaja tanam.

Barangkali seseorang dari jauh, yang mungkin belum kau atau aku kenal atau kita sesungguhnya lupa siapa dan di mana sedang merapal doa selamat, moga kaki-kaki rapuh kita tidak lekas runtuh memikul mimpi-mimpi, atau kita sesungguhnya tidak sama sekali punya mimpi melainkan cuma ilusi, ilusi yang serupa jalan-jalan kita mesti tempuh dan perjuangkan, betapa sering kita kemudian merasa kalah terhadap diri sendiri, larut lalu tenggelam dalam keadaan.

Sedang di sana, saudara-saudari kita mungkin belum lebih baik ketimbang puisi-puisi yang kita tulisi penuh keputusasaan dan dengar nanti, betapa malam-malam bakalan kita rasai serupa sepi sendiri-sendiri dan kemudian meminta pulang lebih jauh lagi dalam diri terhadap yang kita yaikini hakiki semacam moga kami senantiasa baik-baik saja dalam tiap jalan-jalan yang kami pilih, Amin.

Padang; 12/04/2011



Sampan Nelayan

Dengung di laut dan angin saling buru, semacam sepi kita berbulan-bulan sejak jarak membelah diri atau dekap beringsut ke lain negeri dan kemudian sekotak oleh-oleh dari masa silam menyerang hari-hari kau atau aku yang mendadak demam.

Ingatan masih gelombang, badai pecah mata di liang-liang doa, aku sampan dan kau sampan, kita nelayan yang paling jauh dari pulang, sama-sama sedang tenggelam dan subuh paling tunggu entah di mana menanak tungku.

Padang; 11/04/2011


 
Kekeliruan-kekeliruan

Seperti kau, aku ingin terus menulis puisi-puisi tentang soal apa saja, tentang cinta mungkin, tentang perjalanan, tentang keadaan, duka serupa air mata atau tentang keajaiban-keajaiban Tuhan yang sering kita persoalkan tidak adil atau tunduk paling dalam dan taat pada keadaan, seperti kita selama ini berjalan dari kata ke kalimat kemudian ditipu isyarat, betapa kita setelah itu hanyut bahkan sampai tenggelam di yang kita bilang penuh ketakutan.

Mengenai nyanyian-nyanyian menjelang tidur kita yang di curi musim hujan, semacam ingatan-ingatan yang tiba-tiba lusa kita lupa peram, kemudian berharap mendadak mimpi kita telah tanak dan tak perlu menerka jumlah peluh yang mesti kita seka atau betapa kita selalu berharap kemudahan-kemudahan senantiasa datang tanpa membaca makna dalam peran.

Kasih, langkah kita selama ini memelihara hampa, doa-doa kita kosong belaka dengan tangis paling menjadi namun pura-pura, tapi selalu rindu dunia umpama surga sudah pasti milik kita.

Padang; 11/04/2011

Cari

Arsip