Puisi-puisi Reski Kuantan [20/08 -11/09/2011]

Di Suatu Kelak

Di suatu kelak, aku adalah tanah yang menyimpan kisah kakimu dalam dadaku, membiarkan tiap jejak saling bersahutan, membaca ingatannya masing-masing.

Lalu akan kuceritakan pada akar-akar pohon, pada sungai-sungai yang mengalir, pada batu-batu yang menggigil, pernah di suatu dulu, seseorang dibawa angin laut ke jantung seberang.

Aku akan diam di sakit-sakit, menghitung gema luka-luka, kau dengarkah di sana? Tiap hitungan adalah doa.

Begitulah, bahkan setelah ruh di makan waktu, rindu dan kau tak kunjung bertemu, kapan kau berlabuh? Di teluk bayur kau kutunggu.

Padang; 11/09/2011


Kepadakulah, Akan Aku Selesaikan Peranmu

Ci, lihat pagi datang. Ke mana kau setelah ini? Ke dadaku, jantung dan hati atau  membiarkan malam-malam terus dimakan waktu, sementara kau digantikan sepi dan aku terdiam memeluk diri sendiri.

Demikian kah selalu? Ci, matahari tak mengerti, tentang badai dan hujan atau segela gemuruh yang kau tanam dalam nadi. Yang ia tahu sekedar takdir dan berputar sesuai garis.

Di mana langit? Atau memang kita mesti selalu taat dan tunduk terhadap tuntutan bumi? Bangun, tertidur, tak sempat memilih sembari cemas mengadukan hitungan pada jemari dan gagap membaca mimpi.

Ci, lihat aku,  ke mana kau setelah ini? Terus ke biaskah atau ke tiada? Atau ke aku dan selesailah peranmu.

Padang; 06/09/2011


Ia Mengandung Hujan di Dadanya

:Ella Julyanti

Hujan itu mengaliri sungai-sungai
membajari lembah-lembah
menciptakan badai
dan menghidupkan bunga-bunga

Di mana kau tak akan mampu
mencari tempat berteduh

Hujan itu namanya tahukah kau?
bahkan sejarah pun tak
hujan itu terus tumbuh
harum baunya dan berdaun lebat

Hei, lihat, hujan di dadanya
di dadaku pula

Kau mengenalnya?

Teluk kuantan; 02/09/2011



Malam Itu


Mendengar angin, ada sepi yang tergantung, ada nama dipangili jantung, siapa kau? Aku? Siapa rindu? Rentang dan jarak yang saling cumbu? Atau entah? atau kesiap belaka?

Di luar begitu dingin, kau memilih diam ranting, menatap daun-daun ditinggalkan musim, sementara aku begitu ingin muncul seperti masalalu, kemudian kau kenang dalam renungmu.

Lalu kau melihat langit, awan, bintang, bulan, mungkin kau bertanya ke mana hujan? Di mataku, serupa nasib yang kau tunggu ia gelegarkan petir dalam dadaku.

Padang; 21/08/2011


Di Perjalananku

:Ella Juliyanti

Aku kehilangan diriku, aku dihisap gelap, di sedot ke dalam lubang tanpa dasar dan seketika merasa, ini kah kematian itu? Tiba-tiba, kau, kau adalah udara paling lembut, meraih hidupku dan menempelkannya ke dadamu, kemudian kau tiupkan seluruh rindu ke segenap sanubariku.

Sejak itu, aku pun selalu diserap badai dahaga, dan kau menjelma sungai-sungai yang mengalir di tenggorokanku, pohon-pohon berdaun lebat di kepalaku, menjadi  waktu yang mengukuhkan gerak-gerik sendi tulang-tulangku dan di semua sepi, kau adalah nyanyian yang menggetarkan urat-urat jantungku.

Padang; 20/08/2011

Cari

Arsip