Di Suatu Kelak
Di
suatu kelak, aku adalah tanah yang menyimpan kisah kakimu dalam dadaku,
membiarkan tiap jejak saling bersahutan, membaca ingatannya
masing-masing.
Lalu akan kuceritakan pada akar-akar pohon, pada sungai-sungai yang mengalir, pada batu-batu yang menggigil, pernah di suatu dulu, seseorang dibawa angin laut ke jantung seberang.
Aku akan diam di sakit-sakit, menghitung gema luka-luka, kau dengarkah di sana? Tiap hitungan adalah doa.
Begitulah, bahkan setelah ruh di makan waktu, rindu dan kau tak kunjung bertemu, kapan kau berlabuh? Di teluk bayur kau kutunggu.
Padang; 11/09/2011
Lalu akan kuceritakan pada akar-akar pohon, pada sungai-sungai yang mengalir, pada batu-batu yang menggigil, pernah di suatu dulu, seseorang dibawa angin laut ke jantung seberang.
Aku akan diam di sakit-sakit, menghitung gema luka-luka, kau dengarkah di sana? Tiap hitungan adalah doa.
Begitulah, bahkan setelah ruh di makan waktu, rindu dan kau tak kunjung bertemu, kapan kau berlabuh? Di teluk bayur kau kutunggu.
Padang; 11/09/2011
Kepadakulah, Akan Aku Selesaikan Peranmu
Ci,
lihat pagi datang. Ke mana kau setelah ini? Ke dadaku, jantung dan hati
atau membiarkan malam-malam terus dimakan waktu, sementara kau
digantikan sepi dan aku terdiam memeluk diri sendiri.
Demikian kah selalu? Ci, matahari tak mengerti, tentang badai dan hujan atau segela gemuruh yang kau tanam dalam nadi. Yang ia tahu sekedar takdir dan berputar sesuai garis.
Di mana langit? Atau memang kita mesti selalu taat dan tunduk terhadap tuntutan bumi? Bangun, tertidur, tak sempat memilih sembari cemas mengadukan hitungan pada jemari dan gagap membaca mimpi.
Ci, lihat aku, ke mana kau setelah ini? Terus ke biaskah atau ke tiada? Atau ke aku dan selesailah peranmu.
Padang; 06/09/2011
Demikian kah selalu? Ci, matahari tak mengerti, tentang badai dan hujan atau segela gemuruh yang kau tanam dalam nadi. Yang ia tahu sekedar takdir dan berputar sesuai garis.
Di mana langit? Atau memang kita mesti selalu taat dan tunduk terhadap tuntutan bumi? Bangun, tertidur, tak sempat memilih sembari cemas mengadukan hitungan pada jemari dan gagap membaca mimpi.
Ci, lihat aku, ke mana kau setelah ini? Terus ke biaskah atau ke tiada? Atau ke aku dan selesailah peranmu.
Padang; 06/09/2011
Ia Mengandung Hujan di Dadanya
:Ella Julyanti
Hujan itu mengaliri sungai-sungai
membajari lembah-lembah
menciptakan badai
dan menghidupkan bunga-bunga
Di mana kau tak akan mampu
mencari tempat berteduh
Hujan itu namanya tahukah kau?
bahkan sejarah pun tak
hujan itu terus tumbuh
harum baunya dan berdaun lebat
Hei, lihat, hujan di dadanya
di dadaku pula
Kau mengenalnya?
Teluk kuantan; 02/09/2011
Mendengar angin, ada sepi yang tergantung, ada nama dipangili jantung, siapa kau? Aku? Siapa rindu? Rentang dan jarak yang saling cumbu? Atau entah? atau kesiap belaka?
Di luar begitu dingin, kau memilih diam ranting, menatap daun-daun ditinggalkan musim, sementara aku begitu ingin muncul seperti masalalu, kemudian kau kenang dalam renungmu.
Lalu kau melihat langit, awan, bintang, bulan, mungkin kau bertanya ke mana hujan? Di mataku, serupa nasib yang kau tunggu ia gelegarkan petir dalam dadaku.
Padang; 21/08/2011
Hujan itu mengaliri sungai-sungai
membajari lembah-lembah
menciptakan badai
dan menghidupkan bunga-bunga
Di mana kau tak akan mampu
mencari tempat berteduh
Hujan itu namanya tahukah kau?
bahkan sejarah pun tak
hujan itu terus tumbuh
harum baunya dan berdaun lebat
Hei, lihat, hujan di dadanya
di dadaku pula
Kau mengenalnya?
Teluk kuantan; 02/09/2011
Malam Itu
Mendengar angin, ada sepi yang tergantung, ada nama dipangili jantung, siapa kau? Aku? Siapa rindu? Rentang dan jarak yang saling cumbu? Atau entah? atau kesiap belaka?
Di luar begitu dingin, kau memilih diam ranting, menatap daun-daun ditinggalkan musim, sementara aku begitu ingin muncul seperti masalalu, kemudian kau kenang dalam renungmu.
Lalu kau melihat langit, awan, bintang, bulan, mungkin kau bertanya ke mana hujan? Di mataku, serupa nasib yang kau tunggu ia gelegarkan petir dalam dadaku.
Padang; 21/08/2011
Di Perjalananku
:Ella Juliyanti
Aku kehilangan diriku, aku dihisap gelap, di sedot ke dalam lubang tanpa dasar dan seketika merasa, ini kah kematian itu? Tiba-tiba, kau, kau adalah udara paling lembut, meraih hidupku dan menempelkannya ke dadamu, kemudian kau tiupkan seluruh rindu ke segenap sanubariku.
Sejak itu, aku pun selalu diserap badai dahaga, dan kau menjelma sungai-sungai yang mengalir di tenggorokanku, pohon-pohon berdaun lebat di kepalaku, menjadi waktu yang mengukuhkan gerak-gerik sendi tulang-tulangku dan di semua sepi, kau adalah nyanyian yang menggetarkan urat-urat jantungku.
Padang; 20/08/2011
Aku kehilangan diriku, aku dihisap gelap, di sedot ke dalam lubang tanpa dasar dan seketika merasa, ini kah kematian itu? Tiba-tiba, kau, kau adalah udara paling lembut, meraih hidupku dan menempelkannya ke dadamu, kemudian kau tiupkan seluruh rindu ke segenap sanubariku.
Sejak itu, aku pun selalu diserap badai dahaga, dan kau menjelma sungai-sungai yang mengalir di tenggorokanku, pohon-pohon berdaun lebat di kepalaku, menjadi waktu yang mengukuhkan gerak-gerik sendi tulang-tulangku dan di semua sepi, kau adalah nyanyian yang menggetarkan urat-urat jantungku.
Padang; 20/08/2011