Seorang Angin

Seorang Angin

Perahu kecil hanyut dan tenggelam di ujung selokan, entah bikinan siapa, barangkali nasib dan suara-suara hujan begitu berisik menghitung detik di atas kepala kita.

“Kau tetap akan pergi?” Tanyaku ketika itu sembari pulang ke masa lalu dengan wajah sendu.

“Kau dingin?” tanyamu.

“Tidak” jawabku.

“Aku bisa saja menahan apa saja, tapi tidak untuk kehilangan dan aku rasa kau tahu itu, sebab kau mengenaliku lebih dariku mengenali diriku” bisiku dalam hati sembari kusentuh rambutmu yang angin, kukecup matamu yang angin, kugenggam jari-jarimu yang angin, kupeluk tubuhmu yang angin.

“Kau belum mengerti” katamu. Kemudian kau menuju pintu, aku hanya berdiri melihat punggungmu. Di luar masih hujan, hujan menimpa apa saja yang bisa ia timpa. Tapi kau tak melihat ceruk mataku, telah kuusap sendiri sembari menebak bagaimana degup jantungmu yang angin? Apa sama dengan degup jantungku yang penuh ingin? Betapa saat itu aku sangat ingin kau menjadi diriku, agar kau dapat mengerti dan merasai apa yang aku rasai.

“Kau tetap akan pergi?” tanyaku.

“Kau takut?” tanyamu sembari terus melihat keluar dan menuju pintu.

Aku ingin sekali tahu isi kepalamu yang angin dan andai aku bisa, akan kuputus-putuskan urat-urat ingatanmu, agar kau lupa ke mana kau akan melangkah terkecuali cuma ke pelukanku.

“Apa kau benar-benar akan meninggalkanku? Kau akan pergi? Boleh aku ikut denganmu?” tentu kau mendengar gemetar suaraku dan oh, dadamu yang angin, ingin sekali kusentuh, ingin sekali kusentuh, sangat ingin kusentuh. Apa kau merasakan keinginanku? Berbaliklah dan sentuh bahuku, sentuh bahuku.

Di luar perahu kecil dalam selokan entah bikinan siapa telah hilang, barangkali nasib dan suara-suara hujan makin redam atau suara gemuruh di dadaku yang makin kencang. Aku bisa saja menahan apa saja tapi tidak untuk kehilangan.

Sejak saat itu, aku selalu suka pergi ke puncak bukit, melihat bunga-bunga menumbuhkan warna, ilalang-ilalang menari, daun-daun jatuh mencimumi rumput, kadang-kadang aku merasa diriku sedang berada di negeri musim semi atau musim gugur, dari sana aku juga bisa melihat kota, kota yang selalu penuh dengan kebisingan dan orang-orang yang merasa kehilangan, di kota aku tak bisa mendengar bisikanmu. Sebab di atas bukit aku merasa dekat denganmu.

Tapi hari ini badai, aku jadi mangerti dan aku tulis puisi:

Tak ada yang milikku
pakaian, kehidupan atau kau
sajak-sajak pun bukan
lalu apa yang dariku banggakan padamu?
cinta?
jika diambil pun aku tak akan berdaya
kecuali syukur padaNya.

Kemudian kubacakan pelan-pelan sembari kupeluk diriku sendiri, kubiarkan tembok kamarku kian merapat padaku, biar sepi ini menjauh.

Reski Kuantan; 22/06/2011

Cari

Arsip