Puisi: Wahai Laksamana, Mantra Tuah, dll

Wahai Laksamana

Ini rumah laut
tempat rindu pasang surut
kepulanganmu tahun-tahun berlari
tahun-tahun yang demam sendiri

Di luar sana angin berduyun
ke puncak bukit dan gunung
di dalam sini sebab
tak ada lagi layar yang dapat  ditangkap

Doa-doaku yang garam
luka-luka mengeram
kau menjelma sepanjang ingatan
berhamburan dari rahim masa silam

Oh kandungku hanyut
di ujung teluk sejarah tertungkup
debur ombak sudut mata
hatiku bibir pantai yang lara

Akulah ibu dari segala ibu
yang kau cucut tampuk susunya
yang berdarah-darah
memberimu bahasa

Ceritakan pada sultanmu
tentang rumah lautku
tentang tanah tumpah
yang ngungsi ke tembok-tembok Malaka

Sampaikan pada karib kerabat
pada rongga dada Hang Jebat
pada detak jantung dan waktu
pada hunus ujung kerismu

Aku lah Dang Merdu
wahai laksamana
wahai rindang rindu
wahai dukaku duka

Wahai nama-nama
wahai cucur darah
wahai lara lirih
akulah kasih paling kasih
yang paling laut
yang paling larut
paling pintu dan tunggu
musim ke musim mengendap rindu

Katakan pada tiap tetes darah
pada tiap jengkal tanah
pada dentum meriam orang eropa
pada kematian di ubun kepala

Sumpahkan pada orang darat
tentang gemuruh runtuh adat
tikam muslihat mahkota
ketiadaan yang tiada

Oh putraku paling putra
dagingku yang pusara
serupa tumbuk gelombang pada karang
cemasku riwayat tak terbilang

Kuansing, 2015



Mantra Tuah

Hallo angin terbirit
yang turun dari puncak bukit
malang mantra orang dalam
tumbang adat rebahlah engkau
apa kabar?

Tanah leluhur dan pohon-pohon
dahan dan daun-daun
yang memberi hirup
teteskan denyut hidup
pada garis darah engkau

Pipit-pipit
padi-padi gabah
ilalang mengicuh mata
bersiul-siul pada selaksa
menari-nari tarian jenaka

Kilau tuai engkau
berpangkal pada tanah
berpucuk pada langit
menyayat dalam doa
panen musim tuba

Oh segala yang tumbuh
segala yang ruh
segala yang tubuh
segala yang tipu
kelak serupa engkau pula runtuh

Hallo angin sonsang
hikayat nenek moyang
derak belantara tumbang
ditiupnya pada engkau
apa kabar?

Raung tumbung traktor orang kota
tumbung-tumbung serakah
musabab sanak merumah punah
segala satwa dan saudara
menunggu kematian tiba

Oh batang sungai
batang nasib yang sansai
pada nadi engkau
pada degup engkau
mengalir  mantra yang tuah

Tuah yang patah
tuah yang sembah
sembah yang jiwa
jiwa yang sembah
SembahYang Esa

Kuansing, 2015



Anjing dalam Diri

Yang pahit di darahku
yang busuk di dagingku
aku tak sendiri
siapa dapat maknai sepi?

Ia anjing dalam diri
terus  menyalak dan menangis
menggigit dan mencakar
merobek laparku
merobek dahagaku
setubuhi amarahku

Begitu dekat
demikian erat
tanpa sekat
dalam gelap
dalam diri

Ia beri aku sakit
beri aku pahit
beri aku pelukan
beri aku pelukan

Oh sudah bertahun
melipat kurun
yang dingin dan asing.

Kuusir ia tapi tak pergi
kubunuh tak mati-mati
ia anjing dalam diri
paling tahu rasa sedih
paling pandai bersembunyi

Kuansing, 2016



Duri dan Daging

Aku tulis tubuhmu
duri dan daging
darah bening
sembari kau eja namaku
berulang-ulang
suaramu masuki tenggorokanku

Kita membusuk
meringkuk
saling tangkap
saling dekap
saling sekap

Oh kau milikku
tubuhmu tubuhku
duri dan daging
menyatu

Oh diri
oh duri
oh daging
dendam-dendam
diam-diam menjadi duri
menjadi daging
darah bening
mengering

Aku tulis tubuhmu
gairah bertahun
dihisap kurun
lukamu lukaku
berpeluh-peluh
tumpah dalam lenguh
kita satu

Satu tubuh
dalam darah
dalam gairah
dalam marah
dalam cinta
tanpa dusta
tanpa kata

Karena kata tak mampu sampaikan luka
tapi cinta menyatukan apa saja

Kuansing, 2016



Kuriau

Kuriau
kudengar ia memanggil kau
dari sudut-sudut kampung
dari bukit-bukit berkabung
dari mata kanak-kanak
yang tak kenal bahasa kandung

Kuriau
kudengar ia mengigau
dari anak-anak sungai
dari petak-petak sawit
dari dalam perutku
yang lapar pembangunan

Kuriau
ia meraung-raung risau
ia ingin pulang
pada layar dan lancang
pada laut dan gelombang
pada anak-anaknya yang hilang

Kuriau
ia mati sendiri
terkubur dalam sepi

Tahukah kau?
mati dalam sepi adalah kematian paling keji

Sementara kau
di mall-mall
di kakilima
di sekolah-sekolah
di tempat ibadah
senantiasa menyulam keranda
seolah mengamini kematiannya
tanpa doa

ia tak ingin mati
tak ingin kau kenang
ia ingin kau timang
ia ingin cinta

ia tak ingin keranda
tak ingin batu nisan
ia ingin sejarah
ia ingin kau baca

Kuriau
di kalbumu
di kalbuku
di sepanjang jalan-jalan kota
menjelma tugu-tugu penuh dusta

Kuriau
sekedar kesenian dan omong kosong belaka
sekedar lagu-lagu pengiring dansa
ca ca ca
celaka
kita pestakan kematiannya

Kuriau
ia jelma negeri sebelah
di gemerlap malam kota
di warung kopi hingga toko celana

Kuriau
ia mati dalam sepi
terjajah di negerinya sendiri

Sementara kau?

Pekanbaru; 2014

Cari

Arsip